Asal Mula Perayaan Waisak di Candi Borobudur di Zaman Modern Sebelum Kemerdekaan Indonesia

Bagaimana sejarah asal mula perayaan Waisak di Candi Borobudur di zaman modern sebelum kemerdekaan Indonesia? Apa yang melatarbelakangi tradisi perayaan Waisak tersebut?

Asal Mula Perayaan Waisak di Candi Borobudur di Zaman Modern
Sumber: unsplash

Hari Waisak/Vesak (Pali: Vesākha; Sanskerta: Vaiśākha) adalah salah satu hari yang penting bagi umat Buddha. Pada hari ini, umat Buddha di seluruh dunia memperingati tiga peristiwa bersejarah, yaitu: lahirnya Boddhisatta (Calon Buddha) Pangeran Siddhattha Gotama (Sanskerta: Siddhartha Gautama), pencapaian Pencerahan Sempurna Petapa Gotama, dan Parinibbana (kemangkatan mutlak) Buddha Gotama.[1][2][3]

Sejarah asal mula perayaan Hari Waisak di Candi Borobudur pada zaman modern tidak lepas dari keberadaan Theosofische Vereniging (Perhimpunan Masyarakat Teosofi) yang mengawali perayaan Hari Waisak/Vesak (Pali: Vesākha; Sanskerta: Vaiśākha) di Candi Borobudur.

Theosofische Vereniging adalah sebuah organisasi yang menaungi kelompok umat berkeyakinan Teosofi (filsafat keagamaan). Organiasi ini dibentuk di Amerika Serikat pada tahun 1875 dan kemudian bermarkas di Adyar, India pada tahun 1882.

Ajaran Teosofi sendiri terinspirasi dari filsuf-filsuf kuno Eropa dan agama-agama Asia seperti Agama Buddha, Hindu dan Islam.

Komunitas Teosofi Indonesia muncul pertama kali pada tahun 1881 di Pekalongan, Jawa Tengah,[4] dan dalam bentuk organisasinya pada 1883 yang dipimpin oleh Baron F. Tengnagel (Frederic Jean Louis Maria Zenon van Tengnagell).[5]

Terinspirasi oleh ajaran Agama Buddha, para umat Teosofi pun ikut menghormati Sri Buddha dan merayakan Hari Vesak.

Dengan latar belakang itulah, pada tahun 1927, para anggota Theosofische Vereniging cabang Hindia Belanda (The Nederlandsche Indische Theosofische Vereeniging) menggelar upacara Vesak dalam bentuk modern untuk pertama kalinya di Candi Borobudur.[6][7]

Tidak ada jejak, tanggal berapa tepatnya upacara Vesak tersebut digelar. Namun, menurut perhitungan astronomi modern, bulan Vesākha yang merupakan Bulan Purnama ke-5 pada tahun tersebut, jatuh pada 17 Mei 1927.

Penyelenggaraan upacara Vesak tahun 1927 ini tidak lepas dari peran L. Mangelaar Meertens, seorang pemimpin Buddhis Eropa dari Malang, karena ia bertanggung jawab atas penyelenggaraan perayaan Vesak tahunan di Borobudur sejak saat itu hingga tahun 1939.

Pada 23 Mei 1929, untuk pertama kalinya para anggota Theosofische Vereniging cabang Hindia Belanda menggelar upacara Vesak di Candi Mendut. Dan baru pada 12 Mei 1930, menurut Harian Sin Po edisi Juni 1930, mereka merayakan perayaan Vesak di Candi Borobudur untuk pertama kalinya.

Beberapa sumber menyatakan bahwa justru pada tahun inilah pertama kali perayaan Vesak di Candi Borobudur.[8] Sejak tahun ini dan seterusnya, Hari Vesak diadakan di Candi Mendut dan Borobudur.

Para anggota Theosofische Vereniging cabang Hindia Belanda kembali melakukan upacara Vesak di Candi Borobudur pada 20 Mei 1932, dan termuat dalam majalah Moestika Dharma edisi Juni 1932. Ong Soe Aan, pemimpin Loji Giri Lojo (Giriloyo),[9] melaporkan dalam Moestika Dharma bahwa orang-orang dari berbagai latar belakang etnis menghadiri perayaan Vesak yang diadakan di dua candi tersebut.

Laporan majalah Moestika Dharma ini menjadi laporan pemberitaan pertama mengenai perayaan Vesak di Candi Borobudur. Oleh karena itu beberapa sumber menganggap tahun 1932 sebagai tahun pertama kalinya Hari Vesak dirayakan di Candi Borobudur.[10]

Dalam perayaan Vesak tahun 1932, diceritakan oleh Ong Soe Aan bahwa setelah menyelesaikan acara di Candi Mendut, orang-orang melanjutkan acara di Candi Borobudur dengan mendakinya hingga puncak. Saat mereka sampai di puncak, mereka mendiskusikan buku “The Masters and the Path” (De Meester en het Pad) karya Charles Webster Leadbeater yang dipublikasikan oleh Theosophical Publishing House tahun 1925.[11]

Sebagai puncak acara, mereka saling bergandengan tangan satu dengan yang lain dan melakukan pradakshina[12] searah jarum jam mengelilingi tingkat paling atas stupa Candi Borobudur. Mereka bergandengan tangan sebagai simbol persaudaraan dunia.

Hingga tahun 1932, tidak terlacak jam berapa tepatnya upacara Vesak diselenggarakan dan kapan puncak acaranya dilakukan di Candi Borobudur.

Namun, pada tahun 1938, dalam artikel di majalah Sam Kauw Gwat Po – No. 45 edisi Juni 1938, Oei Thiam An melaporkan lebih detail perayaan Vesak di Candi Borobudur yang dilaksanakan pada 14 Mei 1938.

Perayaan Hari Vesak di Candi Borobudur tahun 1938 tersebut dihadiri sekitar 150 orang yang lebih banyak dari masyarakat etnis Jawa dan sedikit dari etnis Eropa dan Tionghoa. Mereka berasal dari daerah-daerah seperti Yogyakarta, Magelang, Temanggung dan Grabag.

Upacara Vesak 1938 dimulai pada pukul 18.00 WIB yang dipimpin oleh L. Mangelaar Meertens dari Malang. Di tengah tempat puja bakti terdapat altar yang dihiasi lilin, bunga melati, dan mawar. Pembakaran dupa juga digunakan saat itu. Puja bakti diisi dengan pelantunan pelafalan kitab suci sebagai pengulangan ajaran Buddha, kemudian diikuti dengan ceramah.

Tidak diketahui kitab suci yang mana yang dilantunkan dan dilafalkan. Jika mengacu pada apa yang dilakukan oleh kaum Teosofi dalam buku “The Masters and the Path” saat Vesak di Himalaya, para partisipan mengucapkan perenungan terhadap Buddha, Dhamma dan Sangha[13], diikuti dengan pengucarkan Maṅgala Sutta (baca: manggala sutta).

Ceramah pada Vesak 1938 diberikan dalam dua bahasa, yaitu bahasa Belanda oleh Meertens, dan satu lagi ceramah dalam bahasa Jawa diberikan oleh Mangoen Soekarso, seorang Buddhis etnis Jawa sekaligus seorang guru dari sekolah Taman Siswa. Puncak dan akhir dari acara Vesak 1938 adalah pradaksina di stupa terbesar pada pukul 22.30 WIB.

Tahun 1939 menjadi perayaan Hari Vesak di Candi Borobudur yang terakhir sebelum masa Kemerdekaan hingga tahun 1953. Perayaan Vesak di kompleks Candi Borobudur dihentikan pada tahun 1940 karena invasi Jerman ke Belanda dan dilanjutkan dengan perang revolusi kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 1945 hingga 1949.

Berdasarkan jejak sejarah yang terlacak di atas, tampaknya ada dua tradisi yang tampaknya ada dan dilaksanakan pada masa sekarang yaitu, pelantunan pelafalan kitab suci dan pradakshina.

Selain itu, perayaan Vesak di Candi Borobudur khususnya pada 23 Mei 1929, 20 Mei 1932, dan 14 Mei 1938, tampaknya bersesuaian dengan penanggalan astronomi modern alih-alih berdasarkan penanggalan kalender lunar tradisi.

Terlihat dalam perayaan-perayaan Vesak tersebut tampaknya tidak ditemukan jejak tradisi berupa menunggu “Detik-detik Waisak” seperti yang dilakukan sekarang. Tetapi tanda-tanda keberadaan awal tradisi tersebut dapat ditelusuri dari perayaan Vesak tahun 1932 di Candi Borobudur.

Kesimpulan

Asal mula perayaan Waisak di Candi Borobudur di zaman modern sebelum kemerdekaan Indonesia tidak lepas dari penganut Teosofi yang mengagumi Agama Buddha.

Rangkaian perayaan Waisak di Candi Borobudur pada awalnya juga tidak lepas dari rangkaian perayaan di Candi Mendut. Puja bakti yang dilakukan di Candi Borobudur tersebut menggunakan acuan kitab berbahasa Pali. Dan ceramah diberikan dalam dua bahasa, yaitu bahasa Belanda dan Jawa.

Tidak ada atau belum adanya tradisi “Detik-detik Waisak” seperti yang dilakukan pada masa sekarang dengan adanya penentuan jam, menit dan detik. Meskipun demikian cikal bakal tradisi ini muncul pada Vesak tahun 1932 di Candi Borobudur.

– Evam –

Catatan:

[1] World Fellowship of Buddhists (WFB) atau Persaudaraan Buddhis Sedunia pada 25 Mei 1950 di Colombo, Sri Lanka, menetapkan Hari Vesak (Waisak) sebagai Hari Buddha (Buddha Day) dalam Resolusi Spesial No. 2/2/GC 1/2493.

[2] Konferensi Dewan Sangha Sedunia Ke-4 (The Fourth World Buddhist Sangha Council – WBSC) di Bangkok, Thailand, pada 10 Januari 1986 menetapkan Hari Vesak (Waisak) sebagai Hari Buddha (Buddha Day) dalam Resolusi No. RES/5.

[3] Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 15 Desember 1999 menetapkan Hari Vesak PBB yang memperingati kelahiran, pencerahan dan wafatnya Buddha Gotama, dalam resolusi No. A/RES/54/115.

[4] Andrini Martono. 2006. The Theosophical Encyclopedia – Theosophy in Indonesia. Theosophical Publishing House, Quezon City, Philippines.

[5] BAHRI, Media Zainul. Indonesian Theosophical Society (1900–40) and the Idea of Religious Pluralism. Southeast Asian Studies, Vol. 6, No. 1, April 2017, pp.142.

[6]  Yulianti. 2020. The Making of Buddhism in Modern Indonesia. Leiden University. Halaman 154.

[7] Theosofie in Nederlansch Indië = Theosophie di Tanah Hindia Nederland: Officieel Orgaan van de Ned-Indische Theosofische Vereeniging, 1 (January 1927),  Halaman 20.

[8] Falser Michael. 2015. Cultural Heritage as Civilizing Mission From Decay to Recovery. Springer International Publishing.

[9] Loji (lodge) adalah tempat pertemuan para anggota kelompok Teosofi.

[10] Sinha Babli. 2012. South Asian Transnationalisms Cultural Exchange in the Twentieth Century. Taylor & Francis.

[11] Charles Webster Leadbeater adalah salah satu tokoh Perhimpunan Masyarakat Teosofi yang awalnya adalah seorang pendeta Gereja Inggris.

[12] Pradakshina (Pali: Padakkhina; harfiah: memutar ke arah sisi kanan ) adalah prosesi berjalan mengelilingi sesuatu dengan arah ke kanan searah jarum jam sebagai bentuk memberikan penghormatan.

[13] Dalam buku “The Masters and the Path” susunan kalimatnya seperti gabungan dari perenungan (anusati) terhadap Buddha, Dhamma, dan Sangha, dengan Vesak Puja Gatha, dan tiap perenungan diakhir dengan “I take for my guide” (aku mengambilnya sebagai panduanku).

REKOMENDASIKAN: