Buddhisme di Indonesia Zaman Orde Baru

ZAMAN ORDE BARU

Perkembangan Buddhisme di Indonesia Zaman Orde Baru

Perkembangan Agama Buddha pada zaman Orde Baru diawali dengan ditahbiskannya Samanera Jinagiri (dari Banjar, Singaraja Bali) menjadi Bhikkhu di Wat Benchamabophit, Bangkok oleh Yang Mulia (Y.M.) Chau Kun Dhammakittisophon dan diganti namanya menjadi Girirakkhito, pada tanggal 15 November 1966. Pada kesempatan yang sama juga ditahbiskan Samanera Jinaratana menjadi bhikkhu. (Pada tanggal 18 Desember 1976 ikut menyusul rekannya Bhikkhu Jinapiya untuk lepas jubah, dan kembali menjadi umat Buddha biasa)[1]. Selanjutnya pada tahun 1967 Soenaryo (dari Solo) ditahbiskan manjadi Bhikkhu di Sri Lanka dan diberi nama Sumanggalo (meninggal di Belanda pada 2 September 1987).

Pada 14 Mei 1967 di Lawang dibentuk Perhimpunan Tempat Ibadah Tri Dharma (PTITD) untuk seluruh Jawa Timur dengan Ketua Umum Ong Kie Tjay dari Surabaya.

Di tahun 1969 datanglah Y.M. Chau Kun Phra Dhepvoravethi dari Wat Paknam, Thonburi, Bangkok. Setelah kembali ke Bangkok, ia mengirim, melalui Y.M. Bhikkhu Jinaratana, buku-buku bagian dari Kitab Suci Tipitaka dalam Bahasa Pali dan Inggris dan patung-patung Buddha dari kuningan untuk vihara-vihara di Banten, Bogor, Garut, Muntilan, Purworejo, Bali, Ujung Pandang, Samarinda, Palembang, Jambi, dan tempat-tempat lainnya.

Pada tahun itu juga datang di Indonesia empat orang Dhammaduta dari Thailand untuk membantu mengembangkan Agama Buddha di Indonesia. Mereka adalah Y.M. Phra Kru Pallad Attachariya Nukich (sekarang memakai nama Chau Kun Vidhurdhammabhorn), Y.M. Phra Kru Pallad Viriyacarya, Y.M. Phra Maha Prataen Khemadas, dan Y.M. Phara Maha Sujib Khemacharo.

Juga pada tahun 1969, untuk pertamakalinya mahasiswa Buddhis di Jakarta mengadakan Upacara Asadha di Gandhi School, Jakarta. Dua tahun kemudian terbentuklah Keluarga Mahasiswa Buddhis Jakarta (KMBJ).

Menjelang perayaan Hari Raya Tri Suci Waisak tahun 1971, datang rombongan Bhikkhu dari Thailand untuk meresmikan Brahma-Vihara yang terletak di Banjar, Singaraja Bali. Rombongan tersebut terdiri dari Y.M. Chau Kun Phra Dhammakittisophon dari Wat Benjamabophit, Y.M. Chau Kun Phra Dhepgunaphon dari Wat Sraket, Y.M. Chau Kun Phra Patrasaramuni dari Wat Prabatmingmaung, Prae, dan Y.M. DR. Phra Maha Singhaton Narasabho dari Wat Prajetubon.

Majelis Tertinggi Seluruh Umat Buddha Indonesia

Pada tanggal 16-18 Maret 1969, dalam Maha Samaya II (kongres PUUI) yang diselenggarakan di Bandung, yang dihadiri pula oleh PERBUDHI dan Sangha Suci Indonesia yang sudah berubah menjadi Maha Sangha Indonesia, terbentuklah Majelis Tertinggi Seluruh Umat Buddha Indonesia yang berfungsi menetapkan kebijaksanaan dalam keagamaan dan bertanggung jawab kepada Maha Sangha Indonesia. Pimpinan majelis ini adalah Bhikkhu Girirakkhito sebagai ketua umum dan Brigjen Suraji Aryakertawijaya sebagai Sekjen.

Sangha Indonesia

Adanya perbedaan dalam pemahaman Vinaya dan Dhamma, serta adanya usulan pembentukan Sangha Agung oleh Bhikkhu Ashin Jinarakkhita, ketua Maha Sangha Indonesia, yang bertujuan untuk menfusikan/melebur seluruh mazhab/tradisi Agama Buddha, memicu keluarnya beberapa bhikkhu dari Maha Sangha Indonesia. Para bhikkhu yang keluar dari Maha Sangha Indonesia membentuk Sangha Indonesia pada tanggal 12 Januari 1972. Sangha Indonesia tersebut terdiri dari Y.M. Bhikkhu Girirakkhito (ketua), Y.M. Bhikkhu Jinapiya, Y.M. Bhikkhu Jinaratana, Y.M. Bhikkhu Sumanggalo, dan Y.M. Bhikkhu Subhato.[2][3]

Sangha Indonesia mendapat dukungan dari organisasi-organisai yang terhimpun dalam Federasi Umat Buddha Indonesia dan dari organisasi lain seperti PERBUDHI dan Persaudaraan Umat Buddha Salatiga. Dukungan PERBUDHI terhadap Sangha Indonesia dan menyatakan bahwa Sangha Indonesia sebagai Pengayom PERBUDHI disamping Maha Sangha Indonesia, telah menyebabkan PUUI, yang namanya telah diganti menjadi Majelis Ulama Agama Buddha Indonesia (MUABI) menyatakan keluar dari PERBUDHI.

Saat ini terdapat 2 (dua) Sangha di Indonesia, yaitu Maha Sangha Indonesia (yang berlandaskan pada 3 mazhab/tradisi atau disebut Buddhayana) yang dipimpin oleh Y.M. Bhikkhu Ashin Jinarakkhita dan Sangha Indonesia (yang berlandaskan mazhab/tradisi Theravada) dipimpin oleh Y.M. Bhikkhu Girirakkhito.

BUDHI – Peleburan Tujuh Organisasi

Untuk mencegah perpecahan antar umat Agama Buddha, pada tanggal 28 Mei 1972, atas prakarsa dan mediator Brigjen Saparjo, dibuatlah ikrar di Candi Borobudur yang mencetuskan ikrar persatuan dan kesatuan dari tujuh organisasi Buddhis yang menjadi satu organisasi tunggal dengan nama Buddha Dharma Indonesia (BUDHI). Di samping itu, berdiri juga sebuah Majelis yang diberi nama Majelis Buddha Dharma Indonesia yang kelak akan menetapkan pedoman-pedoman mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan Agama Buddha di Indonesia. Ketujuh organisasi yang menandatangani ikrar tersebut di atas adalah:

1. Perhimpunan Buddhis Indonesia (PERBUDDHI) diwakili oleh Brigjen. Suraji Ariyakertawijaya ).
2. Buddhis Indonesia diwakili oleh Suryaputta Ks Suratin.
3. Musyawarah Umat Buddha Seluruh Indonesia (MUBSI) diwakili oleh Djoeri.
4. Gabungan Tridharma Indonesia (GTI) diwakili oleh Drs. Sasana Surya.
5. Persaudaraan Umat Buddha Salatiga diwakili oleh Soepangat Prawirokoesoemo SH.
6. Majelis Ulama Agama Buddha Indonesia (MUABI) diwakili oleh Brigjen Sumantri MS.
7. Dewan Vihara Indonesia (Maitreya-NSI)

Hasil Ikrar Nasional Umat Buddha di Candi Borobudur tahun 1972 ini, baru dapat diwujudkan dalam wadah tunggal Buddha Dharma Indonesia (BUDHI) dengan pimpinan Brigjen Suraji Ariyakertawijaya, pada tahun 1975.

Namun, Gabungan Tridharma Indonesia (GTI) dan Majelis Ulama Agama Buddha Indonesia (MUABI), karena sesuatu hal, tidak meleburkan diri ke dalam Buddha Dharma Indonesia (BUDHI).

Peran Wanita Buddhis Indonesia

Perkembangan Agama Buddha di Indonesia juga tidak terlepas dari peran kaum wanita. Sejak bangkitnya kembali Agama Buddha di Indonesia, sudah terdapat seksi-seksi wanita yang berperan dalam berbagai vihara, yang kemudian pada tahun 70-an terbentuklah organisasi dan koordinator berbagai cabang dan seksi Wanita Buddhis. Pada saat itu tidak ada sekte-sekte atau Majelis Agama, semuanya masih merupakan kesatuan dari perjuangan umat Buddha di bawah panji Persaudaraan Upasaka – Upasika Indonesia (PUUI). Perlu diingat jasa ibu-ibu yang telah mempelopori pergerakan para wanita yang beragama Buddha di vihara masing-masing, seperti Ibu Sujata, Ibu Visakha Gunadharma, Ibu Djamhir, dll.

Pada tanggal 14 Juli 1973 terbentuk Wanita Buddhis Indonesia, yang pengurus aktifnya termasuk Ibu Sujata dan Ibu Visakha Gunadharma. Generasi penerusnya merasa perlu adanya koordinator dan bentuk organisasi yang lebih mantap. Maka pada tahun 1976 di Bandung diadakan reorganisasi. Dengan bantuan Sangha Agung Indonesia dapat dibentuk/dikoordinir wanita-wanita dari vihara-vihara dari 18 propinsi. Wadah itu tetap bernama Wanita Buddhis Indonesia, disingkat WBI dengan Ketua Umum Dr. Parwati Soepangat, MA.

Menjadi Agama Resmi Negara

Sebuah kepustakaan klasik[4] mengatakan bahwa Agama Buddha di Indonesia akan tertidur dalam 4 zaman dan akan bangkit kembali setelah 500 tahun semenjak wafatnya Raja Brawijaya V pada tahun 1478 yang secara tradisi dianggap sebagai tahun runtuhnya Kerajaan Mahapahit. Hal ini nampaknya menjadi sebuah kenyataan.

Setelah melewati 4 (empat) zaman yaitu, zaman Kerajaan Islam, zaman Penjajahan, zaman Kemerdekaan, dan zaman Orde Lama; dan juga setelah sekitar 500 tahun semenjak runtuhnya Kerajaan Mahapahit pada tahun 1478, Agama Buddha mulai bangkit kembali di Nusantara (Indonesia). Hal ini ditandai dengan adanya Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 45 Tahun 1974 dan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 30 Tahun 1978 yang menetapkan berdirinya Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu dan Buddha.

Jika dihitung, sejak semenjak runtuhnya Kerajaan Mahapahit pada tahun 1478 dan terbitnya Kepres R.I No. 30 Tahun 1978, terdapat selang waktu kurang lebih 500 tahun. Dan dengan adanya Keputusan Presiden tersebut, Agama Buddha menjadi salah satu agama resmi yang diakui oleh Negara dan sejajar dengan agama-agama lainnya.

Pada tahun 1983, Hari Raya Waisak (Vesak) ditetapkan oleh pemerintah sebagai hari libur nasonal (Tahun Buddhis 2527 B.E) dengan Surat Keputusan Presiden RI No. 3/1983.

Sangha Agung Indonesia (SAI/SAGIN)

Pada tahun 1974, atas prakarsa dan mediator Gde Puja, MA., Ditjen Bimas Hindu dan Buddha, terjadi pertemuan antara Maha Sangha Indonesia (yang berlandaskan pada 3 mazhab/tradisi) dan Sangha Indonesia (yang berlandaskan pada ajaran Theravada). Hasil pertemuan tersebut adalah bergabungnya kedua Sangha ini dan membentuk Sangha Agung Indonesia dengan landasan bahwa setiap bhikkhu akan melaksanakan Vinaya sesuai dengan mazhab/tradisinya masing-masing. Sangha Agung Indonesia dipimpin oleh:

  • Ketua (Nayaka) : Y.M. Bhikkhu Ashin Jinarakkhita.
  • Wakil Ketua : Y.M. Bhikkhu Jinapiya.

Akan tetapi, pertemuan selanjutnya untuk menetapkan antara lain struktur dan fungsi organisasi Sangha Agung Indonesia tidak pernah dapat dilaksanakan. Konsensus yang dibuat pada tanggal 14 Januari tersebut tidak dapat diwujudkan.

Peran Pemerintah

Perkembangan Agama Buddha pada masa Orde Baru tidak terlepas dari peran pemerintah, dalam hal ini Ditjen Bimas Hindu dan Buddha yang berada dalam naungan Departemen Agama. Di antara peran pemerintah dalam perkembangan Agama Buddha adalah menjadi mediator di dalam permasalahan yang dihadapi oleh organisasi-organisasi Agama Buddha. Salah satu peran serta pemerintah sebagai mediator adalah memprakarsai pertemuan antara Maha Sangha Indonesia dengan Sangha Indonesia sehingga terbentuklah Sangha Agung Indonesia pada tahun 1974.

Pada 23 Juli 1975, alm. Ibu Tien Soeharto meresmikan Arya Dwipa Arama di Taman Mini Indonesia Indah dan menyerahkan penggunaannya kepada umat Buddha Indonesia yang diwakilkan oleh Suraji Ariakertawijaya.

Pada 11 Oktober 1976, atas prakarsa Ditjen Bimas Hindu-Buddha (Gde Puja, MA) terbentuklah Majelis Agung Buddha Indonesia (MABI) sebagai forum konsultasi dari Majelis-majelis Agama Buddha yang ada.

Pergolakan dalam antar organisasi-organisasi Buddhis masih terjadi dan kerukunan pun belum terwujud. Pada tahun 1976, atas dasar Ditjen Bimas Hindu dan Buddha dilakukanlah pertemuan pimpinan organisasi Buddhis dan para pemuka Agama Buddha di Jakarta.

Pada tahun 1983, Hari Raya Waisak (Vesak) ditetapkan oleh pemerintah sebagai hari libur nasonal (Tahun Buddhis 2527 B.E).

Meskipun pemerintah ikut berperan dalam perkembangan Agama Buddha di Indonesia, tapi nampaknya pemerintah juga ikut berperan dalam kemelut yang muncul dalam organisasi Buddhis yang muncul pada masa Orde Baru (1965-1998).

Pesamuhan I Buddha Dharma Indonesia (BUDHI)

Pada tanggal 12-14 Maret 1976 diselenggarakan Pasamuan ke-I Buddha Dharma Indonesia (BUDHI) di Lawang, Jawa Timur. Pasamuan itu berhasil membuat beberapa ketetapan mengenai berbagai aspek Agama Buddha di Indonesia yang kemudian disahkan dalam Kongres Umat Buddha di Yogyakarta pada tahun yang sama. Ketetapan ini dijadikan landasan dalam perkembangan umat Buddha Indonesia, yang nantinya tercantum dalam AD/ART Perwakilan Umat Buddha Indonesia (WALUBI). Dalam pertemuan tersebut juga terbentuk Badan Pekerja Majelis Buddha Dharma Indonesia.

Pembentukan Gabungan Umat Buddha Seluruh Indonesia (GUBSI)

Tanggal 29 September 1976 di Jakarta, atas prakarsa Mayjen Raharjo Projopradoto (DPP Partai Golongan Karya/Gokar), Mayjen Saparjo (Sekjen Partai Golkar) dan Gde Puja, MA. selaku Ditjen Hindu-Buddha mengadakan pertemuan Pemimpin Organisasi Buddhis dan para pemuka Agama Buddha. Hasil pertemuan ini disepakati:

  1. Aspek pembinaan kehidupan keagamaan yang dilakukan oleh para rohaniawan dari sektenya masing-masing, karena tidak mungkin dipersatukan oleh sebab tradisi, vinaya dan nilai-nilai spiritual-ritual yang berbeda satu sama lainnya.
  2. Aspek Sosial Kemasyarakatan dapat dipersatukan dengan wadah tunggal GUBSI (Gabungan Umat Buddha Seluruh Indonesia) dibawah pimpinan R. Eko Sasongko Pratomo, S.H (ketua) dan Drs. Pannajiwa, AT (Sekjen).

GUBSI terdiri dari gabungan umat dari tujuh organisasi, yaitu:
1. Buddha Dharma Indonesia (BUDHI- Theravada)
2. Gabungan Tridharma Indonesia (GTI-Tridharma)
3. Gabungan Vihara Buddha Mahayana Indonesia (Mahayana)
4. Majelis Agama Buddha Nichiren Shoshu Indonesia (Nichiren Shoshu)
5. Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia (Maitreya)
6. Pamong Umat Buddha Kasogatan (Kasogatan)
7. Perhimpunan Buddha Dharma Indonesia (PERBUDHI)

Namun pada perkembangannya, GUBSI menjadi Ormas partai Golkar yang kemudian ditinggalkan oleh anggotanya.

Kemudian organisasi BUDHI tumbuh menjadi Majelis Pandita Buddha Dharma Indonesia (MAPANBUDHI) yang terbentuk pada tanggal 3 Oktober 1976 di Bandung MAPANBUDHI yang berlandaskan pada ajaran Theravada ini dipimpin oleh Sekretaris Jenderal: Maha Pandita Upasaka (M.P.U) Khemanyana Karbono dan Wakil Sekjen: (alm.) M.P.U. Sumedha Widyadharma.

Terbentuknya MABI

Pada tanggal 11 Oktober 1976, atas prakarsa Ditjen Bimas Hindu dan Buddha (Gde Puja, MA) terbentuk Majelis Agung Buddha Indonesia (MABI) sebagai forum konsultasi dari Majelis Agama Buddha yang ada .

MABI yang berbentuk federasi sebagai forum konsultasi dari Majelis-majelis Agama Buddha yang ada berganggotakan:
1. Majelis Ulama Agama Buddha Indonesia (MUABI)
2. Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia (MAPANBUMI)
3. Majelis Buddha Dharma Indonesia (Maitreya)
4. Gabungan Tri Dharma Indonesia (GTI)
5. Majelis Dharmaduta Kasogatan Indonesia (Kasogatan)
6. Parisada Buddha Dharma Nichiren Syosyu Indonesia (NSI)
7. Perhimpunan Tempat Ibadah Tri Dharma (PTITD)

Gabungan Tridharma Indonesia (GTI) berpusat di Jakarta dan Perhimpunan Tempat Ibadah Tri Dharma (PTITD) berpusat di Jawa Timur bergabung menjadi Majelis Rohaniawan Tridharma Seluruh Indonesia (MARTRISIA) dipimpin oleh Ongko Prawiro.

MUABI mengundurkan diri dari Federasi MABI. Namun sebagian anggota MUABI tidak menyetujui pengunduran diri tersebut, dan membentuk majelis baru dengan nama Lembaga Dharmaduta Kasogatan Indonesia yang kemudian berganti nama menjadi Majelis Dharmaduta Kasogatan Indonesia dan dipimpin Giriputra Sumarsono dan Drs. Oka Diputhera. Sedangkan anggota MUABI lainnya kemudian mengganti MUABI menjadi Majelis Buddhayana Indonesia (MBI) pada tahun 1979.

Berdirinya Sangha Theravada Indonesia

Hingga pada masa pertengahan tahun 1970-an umat Buddha di Indonesia terdiri dari banyak organisasi. Pada masa itu ada beberapa organisasi umat Buddha yang aktif di bidang pembinaan keagamaan tidak dibina oleh Sangha (yang ada waktu itu).

Berdasarkan adanya situasi dan kondisi umat Buddha di Indonesia seperti itulah, maka pada sore hari tanggal 23 Oktober 1976, bertempat di Vihara Maha Dhammaloka (sekarang Vihara Tanah Putih), Semarang, beberapa orang bhikkhu dan tokoh umat yaitu: Y.M. Bhikkhu Aggabalo, Y.M. Bhikkhu Khemasarano, Y.M. Bhikkhu Sudhammo, Y.M. Bhikkhu Khemiyo dan Y.M. Bhikkhu Nanavutto; Bapak Suratin MS, Bapak Mochtar Rasyid, dan Ibu Supangat, bersepakat untuk membentuk Sangha Theravada Indonesia.[4][5]

DAFTAR ISI

Pendahuluan

Buddhisme di Indonesia Zaman Kerajaan

Buddhisme di Indonesia Zaman Penjajahan

Buddhisme di Indonesia Zaman Kemerdekaan dan Orde Lama

Buddhisme di Indonesia Zaman Orde Baru

Buddhisme di Indonesia Zaman Wadah Tunggal

Buddhisme di Indonesia Zaman Reformasi

Penutup

Kepustakaan:

[1] Sumedha Widyadharma, Agama Buddha Dan Perkembangannya Di Indonesia, P.C. MAPANBUDHI, Tangerang, 1995.
[2] Bhiksu Vidya Sasana Sthavira, Jo Priastana, KASI Dalam Lintas Sejarah dan Pergerakan Agama Buddha di Indonesia – Sebuah Catatan Retrospektif dan Prospektif, Tabloid KASI edisi pertama, 1 November 2007.
[3] Ir. Edij Juangari, Menabur Benih Dharma Di Nusantara – Riwayat Singkat Bhikkhu Ashin Jinarakkhita, 1999, hlm. 196.
[4] Eko Legowo, The Revival of The Theravada Higher Learning Institutions in Indonesia, Kertarajasa Buddhist College, Indonesia, 2007.
[5] Cornelis Wowor, MA., 30 tahun Pengabdian Sangha Theravada IndonesiaAwal Sangha Theravada Indonesia, 2006, hlm. 98-99.

REKOMENDASIKAN: