Pancasila – Lima Kemoralan
Pancasila (Pali: pañcasīla; Sanskerta: pañcaśīla) atau Lima Kemoralan adalah lima kemoralan dasar bagi umat awam Buddhis.
Kemoralan dasar ini juga disebut Lima Aturan Latihan (Pali: pañcasikkhāpada; Sanskerta: pañcaśikṣapada) karena merupakan lima aturan untuk melatih seseorang agar dapat mengendalikan perbuatannya.
Pancasila hanyalah bagian kecil dari banyaknya ajaran kemoralan yang ada dalam ajaran Buddha. Pancasila membentuk dasar dari beberapa bagian ajaran Buddha, baik untuk umat awam perumah tangga maupun para viharawan (samanera-samaneri, bhikkhu-bhikkhuni).
Selain Pancasila juga terdapat Delapan Kemoralan (Pali: aṭṭhasīla; Sanskerta: aṣṭāsīla), Sepuluh Kemoralan (Pali, Sanskerta: dasasīla), dan Peraturan Kemoralan untuk Pembebasan (Pali: pāṭimokkha; Sanskerta: prātimokṣa).
Pancasila telah dibandingkan dengan hak asasi manusia karena sifat universalnya, dan beberapa cendekiawan berpendapat bahwa Pancasila dapat melengkapi konsep hak asasi manusia. Selain itu, oleh sosiolog, Pancasila juga digambarkan sebagai kontribusi dasar Agama Buddha dalam menciptakan perdamaian.[1]
Pancasila merupakan bagian salah satu dari Tiga Unsur Pelatihan (Pali: tisikkhā; Sanskerta: triśikṣā) yaitu: Kemoralan (Pali: sīla; Sanskerta: śīla), Konsentrasi (Pali, Sanskerta: samādhi), dan Kebijaksanaan (Pali: paññā; Sanskerta: prajñā). Pancasila juga merupakan bagian dari praktik Jalan Arya Berunsur Delapan yang merupakan inti dari ajaran Buddha.
Sebagai teladan, Sri Buddha sendiri telah menerapkan dan menjadikan praktik Pancasila sebagai bagian dari gaya hidup dan kebiasaan-Nya sehari-hari, selain Beliau mempraktikkan kemoralan lainnya.[2]
Dalam Dhammika Sutta, Sri Buddha menjelaskan praktik Pancasila yang perlu dilakukan para umat awam perumah tangga agar menjadi siswa Buddha yang baik.[3] Dan dalam Sikkhāpada Sutta, Sri Buddha menjelaskan bagaimana praktik Pancasila menjadi pembeda antara orang baik dengan orang jahat.[4]
Isi Pancasila
Pancasila terdiri dari lima kemoralan yaitu:[5][6]
1. Menghindari pembunuhan makhluk hidup (Pali: pāṇātipātā veramaṇī; Sanskerta: prāṇātipātād vairamaṇī.)
2. Menghindari pengambilan barang yang tidak diberikan (Pali: adinnādānā veramanī; Sanskerta: adattādānād vairamaṇī.)
3. Menghindari melampiaskan berahi dengan cara yang salah (Pali: kāmesu micchācārā veramaṇī, Sanskerta: kāmeṣu mithyācārād vairamaṇī.)[7]
4. Menghindari ucapan yang tidak benar (Pali: musāvādā veramaṇī; Sanskerta: mṛṣāvādād vairamaṇī.)
5. Menghindari minuman keras dari penyulingan dan fermentasi yang memabukkan yang dapat menyebabkan lemahnya kesadaran (Pali: surā-meraya-majja-pamādaṭṭhānā veramaṇī; Sanskerta: surā-maireya-madya-pramāda-sthānād vairamaṇi.)
Sebagai dasar praktik kemoralan bagi umat Buddhis, maka pengucapan tekad latihan Pancasila menjadi salah satu yang dilakukan di dalam upacara visudhi upāsaka/upāsika.[8]
Berikut pengucapan tekad latihan Pancasila dalam bahasa Pali dan Sanskerta dengan penambahan kata “jalan/aturan latihan” (Pali: sikkhā-padaṁ; Sanskerta: śikṣāpadaṃ), dan “untuk melakukan sendiri” (Pali: samādiyāmi; Sanskerta: samādayāmi) setelah kata “menghindari” (Pali: veramaṇī; Sanskerta: vairamaṇī.)[9]
1. Aku bertekad akan melatih diri menghindari pembunuhan makhluk hidup.
Pali: Pāṇātipātā veramaṇī sikkhā-padaṁ samādiyāmi.
Sanskerta: Prāṇātipātād vairamaṇi śikṣā-padaṃ samādayāmi.
2. Aku bertekad akan melatih diri menghindari pengambilan barang yang tidak diberikan.
Pali: Adinnādānā veramaṇī sikkhā-padaṁ samādiyāmi.
Sanskerta: Adattādānād vairamaṇi śikṣā-padaṃ samādayāmi.
3. Aku bertekad akan melatih diri menghindari melampiaskan berahi dengan cara yang salah.
Pali: Kāmesu micchācārā veramaṇī sikkhā-padaṁ samādiyāmi.
Sanskerta: Kāmeṣu mithyācārād vairamaṇi śikṣā-padaṃ samādayāmi.
4. Aku bertekad akan melatih diri menghindari ucapan yang tidak benar.
Pali: Musāvādā veramaṇī sikkhā-padaṁ samādiyāmi.
Sanskerta: Mṛṣāvādād vairamaṇi śikṣā-padaṃ samādayāmi.
5. Aku bertekad akan melatih diri menghindari minuman keras dari penyulingan dan fermentasi yang memabukkan yang dapat menyebabkan kondisi kelengahan.
Pali: Surā-meraya-majja-pamādaṭṭhānā veramaṇī sikkhā-padaṁ samādiyāmi.
Sanskerta: Surā-maireya-madya-pramāda-sthānād vairamaṇi śikṣā-padaṃ samādayāmi.
Sebuah Latihan
Meskipun Pancasila merupakan kemoralan dasar yang perlu dan penting dipraktikkan oleh umat awam untuk mengurangi penderitaan diri sendiri dan makhluk lain, namun pada praktiknya kemoralan ini dilakukan dalam bentuk latihan alih-alih sebuah perintah yang jika tidak dilaksanakan akan mendapatkan hukuman langit.
Pancasila adalah aturan latihan, yang jika seseorang melanggarnya, ia harus menyadari pelanggarannya tersebut dan merenungkannya bagaimana agar pelanggaran seperti itu dapat dihindari di masa depan.
Praktik kemoralan dalam bentuk latihan ini lebih sedikit menimbulkan perasaan bersalah dan ketakutan, daripada praktik kemoralan dalam bentuk perintah. Ajaran Buddha sangat menekankan ‘pikiran’ dan penderitaan batin seperti penyesalan, kecemasan, rasa bersalah, ketakutan, dll. yang harus dihindari untuk mengembangkan pikiran yang tenang dan damai.
Tujuan dan Dampak Mempraktikkan Pancasila
Tujuan dari mempraktikkan Pancasila adalah untuk mengendalikan diri dan membiasakan diri untuk tidak melakukan perbuatan-perbuatan buruk.
Dengan membiasakan diri untuk tidak melakukan perbuatan-perbuatan buruk yang pastinya membawa penderitaan, maka pada akhirnya dapat mengurangi bahkan menghilangkan penderitaan pada kehidupan seseorang.
Manfaat Sila
Ada banyak manfaat bagi seseorang yang yang memiliki atau mempraktikkan sila, di antaranya:
1. Munculnya kewaspadaan diri sehingga terkendali tindakannya.
2. Memberikan kebebasan pikiran dari rasa takut sehingga dapat membantu memusatkan pikiran.
3. Mendapatkan penghormatan, kasih sayang, dan pertolongan dari yang lain.
4. Memiliki nama baik yang harum hingga tersebar luas dan bermatabat.
5. Mendapatkan dan mempertahankan harta miliknya.
6. Meninggal dengan tenang.
7. Terlahir kembali di alam bahagia (surga).
Penjelasan Pancasila
Penjelasan mengenai Pancasila di sini hanya haris besar saja, penjelasan dan kajian terperinci akan dibahas dibagian terpisah.
1. Menghindari pembunuhan makhluk hidup
Pembunuhan makhluk hidup berarti mematikan, menghancurkan, menghilangkan, mencabut, menghapus daya hidup (Pali: pāṇa; Skt: prāṇa) dari makhluk hidup.
Suatu perbuatan termasuk sebagai pembunuhan makhluk hidup jika secara lengkap memenuhi lima syarat berikut:
- Adanya niat untuk membunuh, mematikan makhluk hidup.
- Adanya sasaran (objek) berupa makhluk hidup.
- Adanya pengetahuan/persepsi bahwa sasaran (objek) adalah makhluk hidup yang masih hidup.
- Adanya usaha dalam melakukan pembunuhan.
- Adanya hasil atau akibat dari tindakan berupa matinya, hancurnya, hilangnya, padamnya daya hidup suatu makhluk.
Seseorang yang sedang berjalan tanpa melihat ke bawah tanpa sengaja membuat seekor semut mati, maka orang itu tidak dapat disebut telah melakukan pembunuhan makhluk hidup, karena tanpa adanya niat untuk membunuh semut itu.
Seseorang yang dengan adanya niat, telah melakukan tindakan untuk membunuh terhadap suatu makhluk hidup tetapi daya hidup makhluk tersebut tidak mati, hancur, atau hilang, maka orang itu tidak dapat disebut telah melakukan pembunuhan. Namun, karena niat membunuh adalah sesuatu yang buruk, maka ia telah melakukan kamma buruk melalui pikiran.
Sri Buddha menjelaskan bahwa siswa Buddha yang baik tidak membunuh makhluk apa pun, juga tidak menyebabkan makhluk apa pun terbunuh, atau memberikan persetujuan kepada orang lain untuk membunuh.[3]
Ciri dari apa yang disebut makhluk hidup adalah:
- Memiliki kesadaran.
- Memerlukan makanan.
- Dapat bergerak.
- Dapat melakukan kegiatan (perbuatan)
- Dapat dilihat oleh mata.
Tumbuhan tidak termasuk dalam kategori makhluk hidup tetapi sebagai benda hidup karena tidak memiliki kesadaran. Dan dalam konteks kehidupan manusia, virus, bakteri dan jenis mikroba lainnya tidak digolongkan sebagai makhluk hidup karena tidak dapat dilihat dengan mata telanjang.
Besar kecilnya kesalahan dan kamma dari pelanggaran sila ke-1 ini tergantung pada kuat atau lemahnya pikiran dan usaha untuk membunuh, dan tergantung pada besar kecilnya tubuh dan kebajikan makhluk hidup tersebut, juga pada besar kecilnya usaha yang dikerahkan untuk melakukan pembunuhan. Bila tubuh dan kebajikannya sama maka besar kecilnya kesalahan bergantung pada tebal tipisnya kotoran batin seseorang saat berusaha melakukannya.
Tujuan Latihan Sila Ke-1
Untuk menahan diri dari menghilangkan kehidupan makhluk lain, yang merupakan tindakan yang dilandasi oleh kebencian, keserakahan, ataupun kebodohan batin. Dengan demikian seseorang tidak merugikan dan memberikan penderitaan kepada pihak lain dan cepat atau lambat memberikan penderitaan kepada dirinya sendiri.
Akibat Perlanggaran Berulang Sila Ke-1
Pembunuhan yang dilakukan berulang-ulang, dikembangkan, dan dilatih, mengarah pada penncapaian neraka, mencapai alam binatang, dan mencapai alam hantu menderita; jika ia terlahir kembali sebagai manusia, paling sedikit mengarah pada memiliki usia kehidupan yang singkat.[10]
2. Menghindari pengambilan sesuatu yang tidak diberikan
Pengambilan sesuatu yang tidak diberikan berarti mengambil milik orang lain tanpa izin dengan paksaan (merampas) atau dengan diam-diam (mencuri) untuk perpindahan kepemilikan.
Suatu perbuatan termasuk sebagai pengambilan sesuatu yang tidak diberikan jika secara lengkap memenuhi lima syarat berikut:
- Adanya pikiran untuk mengambil barang milik orang lain tanpa izin untuk perpindahan kepemilikan.
- Adanya sasaran (objek) berupa barang milik orang lain.
- Adanya pengetahuan/persepsi bahwa sasaran (objek) adalah barang milik orang lain.
- Adanya usaha dalam melakukan pengambilan barang.
- Adanya hasil atau akibat dari tindakan berupa perpindahan kepemilikian barang milik orang lain.
Seseorang yang menemukan dan mengambil sebuah dompet berisi uang di sebuah kursi restoran tanpa seizin, tidak diberikan, dan tidak sepengetahuan pemiliknya, kemudian mengembalikan kepada pemiliknya, tidak dapat disebut melakukan pengambilan barang yang tidak diberikan, karena tidak adanya hasil berupa perpindahan kepemilikan.
Sri Buddha menjelaskan bahwa siswa Buddha yang baik tidak melakukan pengambilan barang yang tidak diberikan, juga tidak menyuruh untuk melakukan pengambilan barang yang tidak diberikan, atau memberikan persetujuan kepada orang lain untuk melakukan pengambilan barang yang tidak diberikan.[3]
Besar kecilnya kesalahan dan kamma dari pelanggaran sila ke-2 ini tergantung pada kuat atau lemahnya pikiran dan usaha untuk mengambil sesuatu yang tidak diberikan, dan tergantung pada nilai objek yang diambil, serta kebajikan sang pemilik.
Tujuan Latihan Sila Ke-2
Untuk menahan diri dari mengambil sesuatu yang merupakan hak milik makhluk lain, yang merupakan tindakan yang dilandasi oleh kebencian, keserakahan, ataupun kebodohan batin. Dengan demikian seseorang tidak merugikan dan memberikan penderitaan kepada pihak lain dan cepat atau lambat memberikan penderitaan kepada dirinya sendiri.
Akibat Perlanggaran Berulang Sila Ke-2
Pengambilan sesuatu yang tidak diberikan, yang dilakukan berulang-ulang, dikembangkan, dan dilatih, mengarah pada pencapaian neraka, mencapai alam binatang, dan mencapai alam hantu menderita; jika ia terlahir kembali sebagai manusia, paling sedikit mengarah pada mengalami kehilangan kekayaan.[10]
3. Menghindari melampiaskan berahi dengan cara yang salah
Melampiaskan berahi[11] dengan cara yang salah berarti melakukan pemuasan atau pemenuhan nafsu berahi terhadap orang yang tidak patut sebagai sasaran pelampiasannya.
Suatu perbuatan termasuk sebagai perbuatan melampiaskan berahi yang salah jika secara lengkap memenuhi empat syarat berikut:
- Adanya pikiran untuk melakukan pelampiasan berahi kepada orang yang tidak patut.
- Adanya sasaran (objek) berupa orang yang tidak patut.
- Adanya usaha dalam melakukan pelampiasan berahi.
- Adanya hasil atau akibat dari tindakan berupa kontak fisik saat pelampiasan nafsu berahi.
“Orang yang tidak patut” adalah mereka yang sedang dalam lindungan dan asuhan oleh ibu mereka, ayah mereka, ibu dan ayah mereka, saudara laki-laki mereka, saudara perempuan mereka, kerabat atau wali mereka, oleh Dhamma (peraturan kehidupan suci atau prinsip) mereka, mereka yang memiliki suami/istri, mereka yang dibatasi oleh hukum[12], dan mereka yang telah bertunangan.[13][14]
Dari ketentuan “orang yang tidak patut” ini, sangat kecil peluang bagi seseorang untuk bisa melampiaskan berahi dengan cara yang salah tanpa melanggar sila ke-3. Contoh, meskipun seseorang tidak memiliki orang tua, keluarga, kerabat, namun jika hukum negara membatasinya sebagai sasaran pelampiasan berahi, maka orang itu disebut “orang yang tidak patut” yang dimaksud dalam sila ini.
Besar kecilnya kesalahan dan kamma dari pelanggaran sila ke-3 ini tergantung pada kuat atau lemahnya pikiran dan usaha untuk melampiaskan berahi, dan tergantung pada kebajikan sila dari objek (wanita/pria) pelampiasan berahinya, kerelaan dari objek (wanita/pria) pelampiasan berahinya, serta kotoran batin pelaku.
Tujuan Latihan Sila Ke-3
Untuk menahan diri dari melakukan pelampiasan berahi dengan cara yang salah, yang merupakan tindakan yang dilandasi oleh kebencian, keserakahan, ataupun kebodohan batin. Dengan demikian dapat membina keharmonisan dan kepercayaan antara pasangan hidup (suami dan istri), serta mencegah perceraian dalam kehidupan berumah tangga.
Akibat Perlanggaran Berulang Sila Ke-3
Pelampiasan berahi yang salah, yang berulang-ulang dilakukan, dikembangkan, dan dilatih, mengarah pada pencapaian neraka, mencapai alam binatang, dan mencapai alam hantu menderita; jika ia terlahir kembali sebagai manusia, paling sedikit adalah mengarah pada mendapatkan permusuhan dan persaingan.[10]
4. Menghindari ucapan yang tidak benar
Ucapan yang tidak benar berarti mengucapkan atau mengatakan sesuatu yang tidak sebenarnya, perkataan yang berlawanan dari kebenaran yang ada, berbohong. Yang dimaksud dengan “yang tidak benar” di sini adalah suatu usaha melalui tubuh dan ucapan yang menghilangkan kesejahteraan (di antaranya, nama baik, reputasi, harta benda, kedamaian, dll.).
Suatu perbuatan termasuk sebagai ucapan yang tidak benar jika secara lengkap memenuhi empat syarat berikut:
- Ada suatu hal yang tidak benar.
- Adanya pikiran untuk mengucapkan sesuatu yang tidak benar.
- Adanya usaha dalam melakukan ucapan tidak benar.
- Adanya hasil atau akibat dari tindakan berupa orang yang memahami ucapannya.
Jika, melalui perbuatannya, orang lain memahami makna tersebut (terlepas akan terpedaya atau tidak) maka seseorang telah melakukan kamma berbohong persis terjadi di saat kehendak untuk melakukannya muncul.
Besar kecilnya kesalahan pelanggaran sila ke-4 ini tergantung pada kuat atau lemahnya pikiran dan usaha untuk melakukan ucapan tidak benar, dan tergantung banyak atau sedikitnya kesejahteraan yang hancur dari ucapan tersebut.
Tujuan Latihan Sila Ke-4
Untuk menahan diri untuk tidak mengucapkan yang tidak benar yang menyebabkan orang lain menjadi tertipu, juga untuk menghindari kata-kata yang merusak reputasi orang lain.
Akibat Perlanggaran Berulang Sila Ke-4
Ucapan yang tidak benar, yang berulang-ulang dilakukan, dikembangkan, dan dilatih, mengarah pada pencapaian neraka, mencapai alam binatang, dan mencapai alam hantu menderita; jika ia terlahir kembali sebagai manusia, paling sedikit adalah mengarah pada mendapatkan tuduhan palsu.[10]
5. Menghindari minuman keras dari penyulingan dan fermentasi yang memabukkan yang dapat menyebabkan kondisi kelengahan
Menghindari minuman keras dari hasil penyulingan (surā) dan fermentasi (meraya) yang memabukkan (majja) yang dapat menyebabkan kondisi kelengahan (pamādaṭṭhānā), adalah menghindari diri untuk meminum, meneguk minuman keras yang memabukkan yang pembuatannya melalui proses penyulingan atau hasil fementasi yang jika diminum akan menyebabkan kondisi lemahnya, lengahnya, lalainya kesadaran.
Secara harfiah sila ke-5 ini mengacu pada penghindaran terhadap surā (minuman keras dari penyulingan) dan meraya (minuman keras dari hasil fermentasi) yang memabukkan, namun, istilah “surā-meraya-majja-pamādaṭṭhānā” dapat diartikan sebagai berbagai hal yang memabukkan yang ketika dikonsumsi akan menyebabkan kondisi lengahnya kesadaran sama seperti setelah meminum surā (minuman keras dari penyulingan) dan meraya (minuman keras dari hasil fermentasi).
Suatu perbuatan termasuk sebagai meminum atau meneguk minum jika secara lengkap memenuhi empat syarat berikut:
- Ada suatu hal yang memabukkan.
- Adanya pikiran untuk meminum atau meneguk.
- Adanya usaha dalam melakukan meminum atau meneguk yang memabukkan.
- Adanya hasil atau akibat dari tindakan berupa terminum atau tertelannya sesuatu yang memabukkan itu.
Tujuan Latihan Sila Ke-5
Untuk menahan diri untuk tidak mengonsumsi berbagai hal yang memabukkan yang membuat lemah dan lengahnya kesadaran. Dengan lemah dan lengahnya kesadaran, seseorang tidak dapat menguasai diri dan melakukan segala sesuatu tanpa berpikir dan menimbang terlebih dulu, sehingga dapat mengondisikan terjadinya pelanggaran sila- sila yang lain.
Akibat Perlanggaran Berulang Sila Ke-5
Sri Buddha menjelaskan adanya enam bahaya yang mengintai seseorang yang gemar mengonsumsi hal yang memabukkan, yaitu: menghabiskan harta yang ada sekarang, kerap terlibat perselisihan, rentan terhadap penyakit, mendapatkan reputasi buruk, keterpaparan yang tidak senonoh, dan melemahkan kecerdasan.[15]
Selain itu, meminum minuman memabukkan yang berulang-ulang dilakukan, dikembangkan, dan dilatih, mengarah pada pencapaian neraka, mencapai alam binatang, dan mencapai alam hantu menderita; jika ia terlahir kembali sebagai manusia, paling sedikit adalah mengarah pada mendapatkan kegilaan.[10]
Langkah Memurnikan Moralitas
Kemoralan yang ada pada diri seseorang dapat dibersihkan atau dimurnikan dengan empat langkah, yaitu:[16]
1. Dengan memurnikan kecenderungan batinnya/temperamen (ajjhāsayavisuddhi).
2. Dengan menerima aturan-aturan moralitas/sila (samādāna).
3. Dengan tanpa pelanggaran (avītikkamana).
4. Dengan melakukan perbaikan-perbaikan terhadap pelanggaran-pelanggaran (paṭipākatikakaraṇa).
Seseorang demi dirinya sendiri perlu memurnikan kecenderungan batin dan perilakunya dengan cara membangkitkan rasa malu berbuat jahat (hirī) di dalam dirinya, sehingga secara alami akan muak dengan kejahatan.
Selain itu, dikarenakan mempertimbangkan orang lain, takut terhadap kejahatan, ia memurnikan perilakunya dengan cara membangkitkan pengertiannya akan rasa takut berbuat jahat (ottapa) dan dengan cara menerima aturan-aturan moralitas dari orang lain.
Setelah kedua hal itu, ia memantapkan kemoralannya dengan cara tanpa melakukan pelanggaran. Tetapi jika, karena sifat pelupanya, ia terkadang melanggar sebuah aturan moralitas, lalu melalui pengertian terhadap rasa malu dan rasa takut berbuat jahat, secara berurutan, ia dengan cepat melakukan perbaikan-perbaikan untuk pelanggaran tersebut dengan cara pemulihan yang sesuai.
– Selesai –
Disusun oleh:
Bhagavant.com
Catatan:
[1] Theresa Der-lan Yeh, “The Way to Peace: A Buddhist Perspective” (PDF), International Journal of Peace Studies, Volume 11, Number 1, 2006.
[2] Brahmajāla Sutta, Dīgha Nikāya 1 (Dīghanikāya: Sīlakkhandhavagga 1 {Sīlakkhandhavagga 1-149} versi Chaṭṭha Saṅgāyana CD-ROM – CSCD), Kanon Tipitaka Pali.
[3] Dhammika Sutta, Sutta Nipāta 2.14 (Khuddakanikāya: Sutta Nipāta 2: Cūḷavagga 14 {Sutta Nipāta 378-406} versi Chaṭṭha Saṅgāyana CD-ROM – CSCD), Kanon Tipitaka Pali.
[4] Sikkhāpada Sutta, Aṅguttara Nikāya 4.201 (Aṅguttara Nikāya: Catukkanipāta: Pañcamapaṇṇāsaka: Sappurisavagga 1 {Catukkanipāta 201} versi Chaṭṭha Saṅgāyana CD-ROM – CSCD), Kanon Tipitaka Pali.
[5] Sādhu Sutta, Aṅguttara Nikāya 10.178 (Aṅguttara Nikāya: Dasakanipāta: Tatiyapaṇṇāsaka: Sādhuvagga 1 {Dasakanipāta 134} versi Chaṭṭha Saṅgāyana CD-ROM – CSCD), Kanon Tipitaka Pali.
[6] Abhidhammabhājanīyaṃ, Vibhaṅga 14.1 (Vibhaṅga: Sikkhāpadavibhaṅga 1, {Vibhaṅga 703-713} versi Chaṭṭha Saṅgāyana CD-ROM – CSCD), Abhidhamma Kanon Tipitaka Pali. – unk pancasila formula awal
[7] Kāmesu micchācārā terdiri dari kata “kāmesu” dan “micchācārā.” Kata “kāmesu” berasal dari kata “kāma” yang secara harfiah berarti berahi, sehingga “kāmesu” berarti melampiaskan birahi. Begitu juga dalam Kitab-kitab Komentar, “kāmesu” berarti nafsu berahi atau seksual. Sedangkan kata “micchācārā” berarti jalan yang salah atau cara yang salah atau pelaksanaan yang salah. Dengan demikian kāmesu micchācārā secara harfiah berarti melakukan berahi dengan jalan atau cara yang salah. Ini juga dapat berarti melakukan pemuasan atau pelampiasan berahi dengan cara (jalan) yang salah. Kāmesu micchācārā sering diterjemahkan secara tidak tepat sebagai “perbuatan asusila”.
[8] Upacara visudhi upāsaka/upāsika adalah upacara pemberian nama Buddhis kepada upāsaka atau upāsika untuk memperkuat keyakinan terhadap Tiratana (Buddha, Dhamma, dan Saṅgha).
[9] Dasasikkhāpadaṃ, Khuddakanikāya 1.2 (Khuddakanikāya: Khuddakapāṭha 2 versi Chaṭṭha Saṅgāyana CD-ROM – CSCD), Kanon Tipitaka Pali. – pancasila dari dasa sila.
[10] Duccaritavipāka Sutta, Aṅguttara Nikāya 8.40 (Aṅguttara Nikāya: Aṭṭhakanipāta: Paṭhamapaṇṇāsaka: Dānavagga 10 {Aṭṭhakanipāta 40} versi Chaṭṭha Saṅgāyana CD-ROM – CSCD), Kanon Tipitaka Pali.
[11] Melampiaskan berahi (kāmesu) yang dimaksud adalah perilaku yang memiliki cara yang sama dengan hubungan seksual (methuna-samācāra) dan memiliki cara yang rendah/kotor/hina/tidak senonoh yang pada ujungnya mendapat terguran/kritikan/patut dipersalahkan (ekantanindita lāmakācāra).
[12] Saparidaṇḍā berasal dari kata “sapari” (dibatasi dengan) dan “danda” (denda, hukum), secara harfiah berarti dibatasi oleh hukum. Saparidaṇḍā adalah mereka yang dibatasi oleh hukum untuk melakukan hubungan sehingga jika melanggar akan ada dendan atau hukumannya. Hukum di sini bisa berupa hukum adat, daerah atau negara.
[13] Saat Sri Buddha berbicara kepada kaum pria tentang “orang yang tidak patut” sebagai sasaran pelampiasan birahi yang salah, maka “orang yang tidak patut” yang dimaksud adalah kaum perempuan dengan syarat-syaratnya tersebut, dan saat berbicara kepada kaum perempuan maka “orang yang tidak patut” yang dimaksud adalah kaum pria dengan syarat-syaratnya tersebut. Ini dikarenakan Pancasila berlaku untuk semua orang terepas dari jenis kelamin dan kecenderungan seksualitasnya.
[14] Cunda Sutta, Aṅguttara Nikāya 10.176 (Aṅguttara Nikāya: Dasakanipāta: Catutthapaṇṇāsaka: Jāṇussoṇivagga 10 {Dasakanipāta 176} versi Chaṭṭha Saṅgāyana CD-ROM – CSCD), Kanon Tipitaka Pali.
[15] Sigālaka Sutta, Dīgha Nikāya 31 (Dīgha Nikāya: Pāthikavagga 8 {Pāthikavagga 242 – 274} versi Chaṭṭha Saṅgāyana CD-ROM – CSCD), Kanon Tipitaka Pali.
[16] Bhikkhu Bodhi, A Treatise on the Pāramīs from the Commentary to the Cariyāpiṭaka-Aṭṭhakathā by Acariya Dhammapala, Buddhist Publication Society, Kandy, Sri Lanka, 1996.