Perjalanan Terakhir Buddha Gotama
Menjelang tengah hari, setelah mempersiapkan diri, membawa mangkuk dan jubah-Nya, Sri Bhagavā berjalan menuju Vesāli untuk mengumpulkan dana makanan. Saat itu adalah tahun 544 Sebelum Era Umum (SEU) berdasarkan tradisi, atau 484 SEU berdasarkan sejarah, tiga bulan sebelum memasuki bulan Vesākha tahun 543 SEU (483 SEU), beberapa bulan setelah Sāriputta dan Moggallāna, kedua Siswa Utama Sri Bhagavā mencapai Nibbāna Seutuhnya (Pali: Parinibbāna; Sanskerta: Parinirvāṇa)[1] di hari bulan purnama bulan Kattikā.
Setelah makanan terkumpul dan disantap, dalam perjalanan pulang Sri Bhagavā meminta Bhikkhu Ānanda untuk mengambil sehelai tikar dan mengajaknya ke Cetiya Cāpāla di dekat Vesāli. Setelah tiba di Cetiya Cāpāla, Sri Bhagavā memberikan sebuah petunjuk kepada Bhikkhu Ānanda mengenai batas waktu kehidupan-Nya. Namun, saat itu Bhikkhu Ānanda tidak menyadari petunjuk tersebut meskipun Sri Bhagavā mengulanginya sebanyak tiga kali.
Setelah mengulangi peringatan tersebut sebanyak tiga kali dan Bhikkhu Ānanda tidak menanggapinya, Sri Bhagavā mempersilahkan Bhikkhu Ānanda untuk melakukan hal lain yang sepatutnya ia perbuat. Bhikkhu Ānanda lalu bangkit dari tempat duduknya, memberi hormat kepada Sri Bhagavā, dan mengundurkan diri dengan Sri Bhagavā tetap di sebelah kanannya. Kemudian Bhikkhu Ānanda duduk di bawah sebatang pohon pada jarak yang tidak jauh dari tempat tersebut.
Pada saat kesendirian-Nya itu, Sri Bhagavā menetapkan bahwa Ia akan Parinibbāna tiga bulan dari saat itu.
Kemudian, Sri Bhagavā bersama dengan Bhikkhu Ānanda menuju Balairung Puncak (Pali: Kūtāgārasālā; Sanskerta: Kūṭāgārasālā) di Mahāvana, dan memintanya untuk memanggil semua bhikkhu yang berada di sekitar Vesāli untuk berkumpul di aula pertemuan.
Setelah membabarkan mengenai Ketiga Puluh Tujuh Syarat Pencerahan (Pali: Bodhipakkhiyādhammā; Sanskerta: Bodhipākṣikadharma) kepada Sangga (Pali: Saṅgha; Sanskerta: Saṃgha) Bhikkhu, Sri Bhagavā memberitahukan saat Parinibbāna-Nya:
“Handa dāni, bhikkhave, āmantayāmi vo, vayadhammā saṅkhārā, appamādena sampādetha. Naciraṃ tathāgatassaparinibbānaṃ bhavissati. Ito tiṇṇaṃ māsānaṃ accayena tathāgato parinibbāyissatī.” (“Saat ini, para Bhikkhu, Saya nyatakan kepada kalian: semua hal yang terbentuk dari perpaduan pasti akan hancur. Berusahalah dengan tekun! Mangkatnya Tathāgata tak lama lagi akan terjadi. Tiga bulan sejak saat ini, Tathāgata[2][10] akan mencapai Parinibbāna.”)
Inilah yang dikatakan Sri Bhagavā. Setelah mengatakan hal tersebut, Sri Bhagavā melantunkan syair berikut:
‘‘Paripakko vayo mayhaṃ, parittaṃ mama jīvitaṃ; Pahāya vo gamissāmi, kataṃ me saraṇamattano. Appamattā satīmanto, susīlā hotha bhikkhavo; Susamāhitasaṅkappā, sacittamanurakkhatha. Yo imasmiṃ dhammavinaye, appamatto vihassati; Pahāya jātisaṃsāraṃ, dukkhassantaṃ karissatī.” (“Telah lanjut usia-Ku, hidup-Ku hanya tersisa sedikit. Aku akan berangkat meninggalkan kalian. Aku telah menjadikan diri-Ku sebagai pernaungan-Ku sendiri. Berusahalah dengan tekun dan dengan perhatian penuh! Bersikap baik, O para Bhikkhu! Dengan pikiran yang terpusat penuh, jagalah batin kalian! Barang siapa berusaha dengan tekun dalam ajaran ini, akan meninggalkan lingkaran tumimbal lahir dan mencapai akhir segala derita.”)
Di hari berikutnya, saat fajar, Sri Bhagavā menata jubah-Nya; sambil membawa mangkuk dana dan jubah luar-Nya, Ia menuju Vesāli untuk menerima dana makanan. Setelah menerima dana makanan dan bersantap, saat meninggalkan tempat itu Ia membalikkan badan dan menatap Vesāli dengan tatapan sesosok gajah pengading suci. Lalu ia berkata kepada Bhikkhu Ānanda, “Ānanda, inilah terakhir kalinya Tathāgata menatap Vesāli. Mari, Ānanda, mari kita pergi ke Bhandagāma!”
Dengan diiringin sejumlah besar bhikkhu, Sri Bhagavā menempuh perjalanan ke Bhandagāma di Vajjī. Setelah tinggal di Bhandagāma selama yang dikehendaki-Nya, Sri Bhagavā menempuh perjalanan secara bertahap dengan sejumlah besar bhikkhu ke Hatthigāma, Ambagāma, Jambugāma, dan kemudian ke Bhoganagara (Bhogagāmanagara). Selagi di Bhoganagara, Sri Bhagava mengajarkan kepada sekumpulan banyak bhikkhu mengenai Empat Sumber Acuan Utama (Pali: Cattāro Mahāpadesā; Sankserta: Catu Mahāpadeśa).
MAKANAN TERAKHIR SRI BHAGAVĀ
Kemudian, setelah Sri Bhagavā tinggal di Bhoganagara, Ia melanjutkan perjalanan ke Pāvā dengan sekumpulan besar bhikkhu dan tinggal di hutan mangga milik Cunda Kammāraputta (Sanskerta: Kārmāraputra – Putra Pandai Besi).
Mendengar berita kedatangan Sri Bhagavā di hutan mangganya, Cunda segera menghadap Sri Bhagavā dan memberi sembah hormat pada-Nya. Sri Bhagavā memberinya dorongan dengan pembabaran Dhamma serta membahagiakannya dalam latihan Dhamma. Setelah mendengarkan Dhamma, Cunda mengundang Sri Bhagavā beserta Sangha bhikkhu untuk menerima persembahan dana makanan keesokan harinya. Sri Bhagavā menyetujuinya dengan berdiam diri.
Keesokan harinya, Cunda mempersiapkan makanan yang mewah, termasuk masakan khusus yang disebut Sūkaramaddava[3].
Ketika makanan dipersembahkan, Sri Bhagavā meminta Cunda untuk menghidangkan Sūkaramaddava kepada diri-Nya semata, dan menghidangkan makanan lainnya bagi Sangha bhikkhu. Seusai makan, Sri Bhagavā meminta Cunda untuk memendam sisa Sūkaramaddava itu di dalam lubang karena Ia tidak melihat siapa pun yang mampu mencernanya dengan baik. Dan setelah memakan makanan yang dipersembahkan oleh Cunda, Sang Bhagavā diserang oleh penyakit parah hingga mengalami diare berdarah disertai dengan rasa sakit yang sangat menusuk. Sri Bhagavā menahan rasa sakit tersebut tanpa mengeluh dan tetap berperhatian penuh dengan kesadaran jernih. Dengan menahan sakit, Sri Bhagavā berkata, “Mari, kita pergi ke Kusinārā.”
PERJALANAN MENUJU KUSINĀRĀ
Dalam perjalanan ke Kusinārā di negara Mallā, Sri Bhagavā merasa letih dan haus. Ia duduk di bawah sebatang pohon dan meminta Bhikkhu Ānanda untuk mengambilkan air di aliran air di sekitar tempat itu. Namun beberapa kereta baru saja lewat sehingga aliran air tersebut menjadi keruh. Bhikkhu Ānanda menyarankan Sri Bhagavā, “Bhante, Sungai Kakutthā berada tidak jauh dari sini; air dingin di sungai itu jernih, menyegarkan, tidak kotor; tepian sungai itu bersih dan menyenangkan. Sri Bhagavā bisa minum dan menyejukkan tungkai di sana.”
Untuk kedua kalinya, Sri Bhagavā meminta dan menerima jawaban yang sama. Setelah yang ketiga kalinya, Bhikkhu Ānanda menurut dan berkata, “Baiklah, Bhante.” Dan ketika Bhikkhu Ānanda tiba di aliran air itu, berkat kekuatan Sri Bhagavā, ia mendapatkan aliran air yang dangkal itu menjadi jernih, murni, dan tidak kotor. Lalu ia mengambil air dan memasukkannya ke dalam mangkuk dananya. Kemudian ia kembali menghadap Sri Bhagavā dan memberitahukan-Nya apa yang telah terjadi, seraya menambahkan: “Semoga Sri Bhagavā bersedia minum air ini! Semoga Yang Mahasuci bersedia minum air ini!” Lalu, Sri Bhagavā pun minum.
Setelah Sri Bhagavā minum dan ketika masih duduk di kaki pohon itu, seorang pangeran Mallā yang bernama Pukkusa – seorang siswa Āḷāra Kālāma yang sedang menempuh perjalanan dari Kusinārā menuju Pava, melihat Sri Bhagavā dan menghadap-Nya. Ia menceritakan pengalaman gurunya dalam meditasi. Kemudian Sri Bhagavā menceritakan pengalaman-Nya kepada Pukkusa. Pukkusa sungguh terkesan dengan ketenangan Sri Bhagavā, lalu ia mengambil pernaungan dalam Tiga permata sampai akhir hayatnya. Setelah itu, ia mempersembahkan sepasang jubah berwarna keemasan kepada Sri Bhagavā. Akan tetapi, Sri Bhagavā meminta Pukkusa untuk mempersembahkan sehelai jubah kepada-Nya dan sehelai lainnya kepada Bhikkhu Ānanda.
Segera setelah Pukkusa pergi, Bhikkhu Ānanda memakaikan pasangan jubah keemasan itu di tubuh Sri Bhagavā. Ia terkejut karena warna cemerlang dari jubah keemasan itu pudar ketika dipakaikan pada tubuh Sri Bhagavā. Melihat hal ini, Bhikkhu Ānanda berseru terhadap apa yang dilihatnya. Untuk itu, Sri Bhagavā menjelaskan bahwa ada dua peristiwa yang bisa menyebabkan warna alami dari kulit Tathāgata menjadi sangat bersih dan bersinar, yaitu pada malam hari saat Ia mencapai Nibbāna, dan pada malam Ia mencapai Parinibbāna.
Sri Bhagavā lalu menyatakan bahwa pada waktu jaga malam terakhir hari itu juga di antara kedua pohon sāla kembar di hutan sāla (Latin: Shorea robusta) milik kaum Mallā, di dekat Kusinārā, Tathāgata akan mencapai Parinibbāna.
Kemudian, Sri Bhagavā melanjutkan perjalanan ke Sungai Kakutthā, dan di sana Ia mandi untuk yang terakhir kalinya, dan meminum air sungai tersebut. Setelah itu, Ia menuju ke sebuah hutan mangga dan beristirahat sejenak di sana, dengan berbaring di sisi kanan-Nya laksana singa yang tengah tidur. Ia berbaring pada jubah luar yang telah disiapkan oleh Bhikkhu Cundaka.
Ketika beristirahat di sana, Sri Bhagavā berkata kepada Bhikkhu Ānanda agar menghalau rasa sesal yang muncul dalam diri Cunda, putra si pandai besi ketika ada orang yang menganggap bahwa ia adalah orang yang tidak beruntung karena Tathāgata wafat setelah menyantap makanan terakhir-Nya yang ia siapkan. Rasa sesal Cunda perlu dihilangkan dengan mengatakan bahwa ia adalah seseorang yang mujur besar karena Tathāgata wafat setelah menyantap makanan terakhir-Nya yang ia siapkan. Sri Bhagavā juga menyatakan bahwa ada dua pemberian dana yang luar biasa, yaitu dana yang dimakan Tathāgata tepat sebelum Ia mencapai Nibbana dan dana yang dimakan Tathāgata tepat sebelum Ia mencapai Parinibbāna.
DI BAWAH POHON SĀLA KEMBAR
Setelah istirahat singkat itu, Sri Bhagavā melanjutkan perjalanan akhir-Nya dengan serombongan besar bhikkhu, Mereka menyeberangi Sungai Hiraññavatī dan menuju ke hutan sāla milik kaum Mallā di dekat Kusinārā, tempat peristirahatan-Nya yang terakhir.
Saat tiba di sana, Sri Bhagavā meminta Bhikkhu Ānanda untuk meyiapkan dipan di antara dua pohon sāla kembar itu, dengan bagian kepala dipan menghadap ke utara. Setelah siap, Sri Bhagavā berbaring di sisi kanan-Nya dalam postur singa, dengan tungkai kaki yang satu tertumpu pada yang lainnya, berperhatian penuh dan sangat sadar. Saat itu, banyak sekali bunga bermekaran di pohon sāla kembar tersebut, meskipun saat itu belum musim bunga.
Pada kesempatan itu, Sri Bhagavā memberikan petunjuk mengenai empat tempat yang layak diziarahi oleh umat yang penuh keyakinan dan yang akan menginspirasikan kebangkitan spiritual dalam diri mereka. Tempat-tempat itu meliputi:
1. Lumbini, tempat kelahiran Tathāgata.
2. Buddha Gaya, tempat Tathāgata mencapai Pencerahan Sempurna.
3. Taman Rusa di Isipatana dekat Bārānasī (Benares; Varanasi), tempat Tathāgata memutar roda Dhamma pertama kali.
4. Kusinārā, tempat Tathāgata mencapai Parinibbāna, Pembebasan Akhir, terhentinya kelima gugus secara penuh.
Lalu Bhikkhu Ānanda menanyakan berbagai hal di antaranya bagaimana sebaiknya para bhikkhu memperlakukan sisa-sisa tubuh Tathāgata. Sri Bhagavā menjawab, “Ānanda, janganlah merepotkan diri dengan menghormati sisa-sisa tubuh Tathāgata. Engkau harus berusaha untuk mencapai tujuan tinggi. Curahkanlah usahamu untuk mencapai Nibbana! Berlatihlah dengan gigih, tekun, dan tanpa lalai demi kebaikan tertinggi dirimu sendiri. Ada kaum kesatria, kaum brahmana, dan perubah tangga yang bijaksana, yang memiliki keyakinan teguh terhadap Tathāgata; mereka akan menghormati sisa-sisa tubuh Tathāgata.”
Setelah tanya jawab tersebut, Bhikkhu Ānanda merasa sedih bahwa hari itu juga Tathāgata akan mencapai Parinibbāna. Ia lalu masuk ke sebuah gubuk tempat tinggal, bersandar pada tiang pintu, dan berdiri sambil meratap. Menyadari bahwa Bhikkhu Ānanda tidak berada di sisi-Nya, Sri Bhagavā meminta seorang bhikkhu untuk memanggilnya menghadap, lalu Sri Bhagavā menghibur Bhikkhu Ānanda.
Sri Bhagavā memuji Bhikkhu Ānanda sebagai seseorang yang bijaksana dan piawai dalam mengatur waktu yang tepat bagi para bhikkhu, bhikkhuni, upasaka, dan upasika untuk datang menjumpai Sri Bhagavā. Sri Bhagavā juga mengagumi Bhikkhu Ānanda karena memiliki empat sifat yang sangat baik dan mengagumkan.
Setelah itu Sri Bhagavā membabarkan Khotbah mengenai Raja Sudassana Yang Agung (Pali: Mahāsudassana Sutta; Sanskerta: Mahāsudarśana Sūtra – Kemegahan Agung) dan kemudian Ia meminta Bhikkhu Ānanda untuk pergi ke Kusinārā untuk mengumumkan kepada kaum Mallā dari Kusinārā bahwa Tathāgata akan mencapai Parinibbāna pada waktu jaga malam yang ketiga, yaitu antara jam 02.00 sampai 04.00. Mendengar pesan yang disampaikan oleh Bhikkhu Ānanda, para pangeran Mallā, dengan para putra, putri, menantu perempuan, serta para istri mereka merasa sangat sedih dan sangat terpukul oleh derita dan duka. Mereka menuju ke hutan sāla itu untuk memberikan penghormatan yang terakhir pada Sri Bhagavā.
PENAHBISAN TERAKHIR
Saat itu, seorang petapa kelana (paribbājaka) bernama Subhaddha sedang tinggal di Kusinārā. Ia mendengar bahwa Petapa Gotama akan mencapai Parinibbāna pada waktu jaga malam yang ketiga. Ia berpikir, ”Telah kudengar dari para sesepuh yang mulia serta guru-guru dari para petapa kelana bahwa sungguh amat langka para Yang Tercerahkan Sempurna, para Tathāgata, muncul di dunia ini. Dan malam ini, pada waktu jaga malam yang terakhir, Petapa Gotama akan mencapai Nibbana Akhir. Keraguan telah muncul dalam batinku dan aku memiliki keyakinan terhadap Petapa Gotama bahwa Ia bisa mengajarkanku ajaran tersebut sedemikian rupa agar aku bisa menghalau keraguanku.”
Tanpa menunda waktu, Subhadda pergi ke hutan sāla itu dan menghadap Bhikkhu Ānanda, menyatakan pemikirannya, namun Bhikkhu Ānanda menolak mempertemukannya dengan Sri Bhagavā dengan alasan bahwa Sri Bhagavā merasa letih. Subhadda mengulangi permintaannya untuk yang kedua dan ketiga kalinya, namun Bhikkhu Ānanda menjawab dengan cara yang sama dan menolaknya. Mendengar percakapan antara Bhikkhu Ānanda dan Subhadda, Sri Bhagavā memanggil Bhikkhu Ānanda: “Cukup, Ānanda! Jangan halangi Subhadda! Biarkan ia menghadap Tathāgata! Karena apa pun yang akan ditanyakan Subhadda kepada Saya, ia hendak bertanya demi memuaskan keinginannya memperoleh pengetahuan sempurna, bukan untuk mengganggu Saya, dan apa pun jawaban Saya terhadap pertanyaannya akan segera dipahaminya.”
Lalu Bhikkhu Ānanda berkata: “Pergilah, Sahabat Subhadda! Sri Bhagavā memperkenankanmu.”
Setelah bertukar salam hangat dengan Sri Bhagavā dan duduk di satu sisi, Subhadda mengajukan pertanyaan yang membuatnya ragu. Kemudian Sri Bhagavā membabarkan Dhamma kepadanya:
“Subhadda, dalam Dhamma dan Vinaya mana pun yang tidak mengandung empat Kebenaran Arya, tidak akan terdapat satu pun petapa dengan tingkat kesucian pertama (Sotāpatti), tidak akan terdapat satu pun petapa dengan tingkat kesucian kedua (Sakadāgāmī), tingkat kesucian ketiga (Anāgāmī), maupun tingkat kesucian keempat (Arahatta). Dalam Dhamma dan Vinaya mana pun yang mengandung Empat Kebenaran Mulia, akan terdapat pula para petapa dengan tingkat kesucian pertama, tingkat kesucian kedua, tingkat kesucian ketiga, dan tingkat kesucian keempat.”
Setelah Sri Bhagavā selesai membabarkan Dhamma, Subhadda merasa takjub dan menyatakan bernaung kepada Buddha, Dhamma, dan Sangha, serta memohon untuk ditahbiskan. Sri Bhagavā menerima Subhadda dalam Persamuhan para bhikkhu tanpa menjalani masa percobaan.
Lalu Subhadda menerima penahbisan awal dan penahbisan penuh ke dalam Persamuhan selaku bhikkhu di hadapan Sri Bhagavā. Ia dibimbing oleh-Nya untuk bermeditasi dengan cara yang tepat. Setelah itu Bhikkhu Subhadda memencilkan diri, bermeditasi dengan menjaga perhatian penuh secara berkesinambungan, berusaha dengan tekun, dan mengarahkan batinnya untuk mencapai kesucian Arahatta. Ia merupakan orang terakhir diterima oleh Sri Bhagavā memasuki Persamuhan dan yang terakhir menjadi Arahant saat Sri Bhagavā masih hidup.
SABDA TERAKHIR
Sri Bhagavā berkata kepada Bhikkhu Ānanda: “Ānanda, engkau mungkin berpikir: ‘Bimbingan dan Sang Guru tak ada lagi; sekarang kita tak lagi memiliki guru.’ Namun, engkau tak seharusnya berpikir demikian karena apa yang telah Saya ajarkan dan Saya babarkan kepadamu sebagai Dhamma dan Vinaya[4] akan menjadi gurumu setelah Saya wafat.”
“Sampai saat ini, para bhikkhu saling menyapa dengan sebutan ‘Āvuso’[5], namun mereka sebaiknya tidak melakukan hal ini setelah Saya mangkat. Bhikkhu yang lebih tua seharusnya menyapa bhikkhu yang lebih muda dengan nama bhikkhu atau nama keluarganya, atau sebagai ‘Āvuso’. Dan bhikkhu yang lebih muda seharusnya menyapa bhikkhu yang lebih tua sebagai ‘Bhante’[6] atau Āyasmā[7].”
“Ānanda, jika memang diinginkan, Sangha boleh menghapuskan aturan-aturan kecil dan yang kurang penting setelah Saya mangkat.”
“Dan Ānanda, setelah Saya mangkat nanti, hukuman berat sekali (brahmadaṇḍa) harus dijatuhkan kepada Channa.[8]”
“Tapi, Bhante, apa hukuman berat sekali itu?”
“Apa pun yang diinginkan ataupun yang dikatakan Channa, ia tak boleh disapa, ditegur, ataupun dibimbing oleh para bhikkhu lainnya.”
Lalu Sri Bhagavā berkata kepada para bhikkhu demikian: “Para Bhikkhu, mungkin saja ada bhikkhu yang memiliki keraguan atau ketidakpastian mengenai Buddha, Dhammu, Sangha, Jalan Suci, ataupun mengenai cara latihan. Bertanyalah sekarang, Para Bhikkhu! Jangan menyesal kelak dengan berpikir: ‘Kami berhadapan muka dengan Sang Guru, namun kami gagal bertanya kepada Yang Terberkahi langsung untuk menghalau keraguan kami’”
Ketika hal mi disampaikan, para bhikkhu diam saja. Untuk kedua dan ketiga kalinya, Sri Bhagavā mengulangi kata-kata¬Nya, dan mereka tetap saja diam. Lalu Sri Bhagavā berkata: “Para Bhikkhu, mungkin karena rasa hormat terhadap Sang Gurulah kalian tidak bertanya kepada Saya. Kalau begitu, Para Bhikkhu, biarlah sahabat yang satu menyampaikannya kepada yang lainnya!” Akan tetapi, mereka tetap saja diam.
Lalu Bhikkhu Ānanda berkata kepada Sri Bhagavā: “Menakjubkan, Bhante! Menakjubkan, Bhante! Saya begitu yakin bahwa di dalam kumpulan mi tak seorang bhikkhu pun yang memiliki keraguan atau kebimbangan mengenai Buddha, Dhamma, Sangha, Jalan Suci, ataupun mengenai cara latihan.”
“Ānanda, engkau berkata atas keyakinan, namun Tathāgata mengetahui bahwa di dalam kumpulan ini tak seorang bhikkhu pun yang memiliki keraguan atau kebimbangan mengenai Buddha, Dhamma, Sangha, Jalan Suci, ataupun mengenai cara latihan. Ānanda, di antara kelima ratus bhikkhu ini, yang paling rendah pun adalah seorang Sotāpanna[9], yang tak akan terjatuh ke alam rendah, namun kelak pasti akan mencapai Pencerahan.”
Lalu Yang Terberkahi berkata kepada para bhikkhu dan memberikan bimbingan-Nya yang terakhir:
“Handa dāni, bhikkhave, āmantayāmi vo, vayadhammā saṅkhārā, appamādena sampādetha.”[10] (“Saat ini, para Bhikkhu, Saya nyatakan kepada kalian: semua hal yang terbentuk dari perpaduan pasti akan hancur. Berusahalah dengan tekun!”)
Catatan:
[1] Parinibbāna (Sanskerta: Parinirvāṇa), secara harfiah berarti nibbāna seutuhnya, berasal dari kata “pari” (seutuhnya, seluruhnya, komplet) dan kata “nibbāna” (padam). Disebut juga anupādisesa nibbāna yang berarti nibbāna tanpa lima gugusan/kelompok kehidupan yang tersisa. Merupakan pencapaian Nibbāna bagi para Arahant yang telah mangkat.
[2] Tathāgata, secara harfiah berarti Yang Datang atau Pergi dengan Cara Demikian, berasal dari kata “tathā” (dengan cara demikian) dan kata “gata” (pergi atau datang). merupakan sebutan atau gelar bagi Buddha.
[3] Sūkaramaddava (Sanskerta: Sūkaramārdava), adalah nama dari sejenis makanan. Hingga sekarang, jenis makanan ini masih belum diketahui secara pasti. Secara harfiah berasal dari kata sūkara (babi) dan maddava (lunak). Menurut Dīgha Nikāya Atthakathā (kitab komentar), Sūkaramaddava atau daging babi lunak adalah daging dari seekor babi yang tidak terlalu muda atau terlalu tua, yang sudah tersedia (pavattamaṃsa) dan tidak dibunuh khusus untuk Sri Bhagavā; sebagian ahli menafsirkannya sebagai beras lunak yang ditanak dengan lima macam makanan olahan dari sapi; sebagian ahli lainnya mengatakan bahwa makanan tersebut adalah makanan khusus yang dipersiapkan dengan ramuan tertentu yang disebut rasāyana yang lezat dan sangat bergizi, dan sementara sebagian ahli lainnya mengatakan bahwa makanan tersebut adalah tumbuhan jamur yang digemari oleh babi.
[4] Disiplin, peraturan, penuntun.
[5] Teman atau Saudara.
[6] Yang Terhormat atau Guru.
[7] Yang Mulia.
[8] Channa adalah kusir Pangeran Gotama, dan telah lama bergabung dalam Sangha, namun memperlihatkan sikap yang suka melawan. Perlakuan yang dikenakan kepadanya oleh perintah Sri Buddha adalah untuk mengembalikan kesadarannya.
[9] Sanskerta: Srotāpanna, dari kata “srota” (arus) dan “āpanna” (masuk) yang berarti Pemasuk Arus, yaitu mereka yang telah mencapai tingkat kesucian pertama karena telah masuk ke dalam arus atau Jalan kesucian.
[10] Appamādena sampādetha, berasal dari kata “appamādena” (tanpa lengah, tanpa lalai; lawan kata: tekun) dan “sampādetha” (berusaha, berjuang). Kata-kata ini juga muncul sebelumnya di Kūtāgārasālā ketika Buddha Gotama memberitahukan kepada Sangga Bhikkhu mengenai Parinibbāna-Nya .
DAFTAR ISI
Pendahuluan
Kelahiran dan Kehidupan Istana Pangeran Siddhattha
Pelepasan Keduniawian Pangeran Siddhattha
Kehidupan Petapa Gotama
Pencerahan Agung
Pemutaran Roda Dhamma
Empat Puluh Lima Tahun Membabarkan Dhamma
Perjalanan Terakhir Buddha Gotama
Mahaparinibbana Buddha Gotama