Meditasi – Dhamma Yang Hidup

Para pencari kebajikan yang telah berkumpul di sini, mohon dengarkanlah dengan tenang. Mendengarkan Dhamma dengan tenang artinya mendengarkan dengan pikiran yang terpusat, memperhatikan apa yang kalian dengar dan kemudian melepaskannya. Mendengarkan Dhamma sangatlah bermanfaat. Ketika mendengarkan Dhamma, kita diajak untuk secara teguh membuat tubuh dan pikiran berada dalam keadaan samadhi, karena ia merupakan salah satu dari praktek Dhamma. Pada zaman Sang Buddha, orang-orang mendengarkan khotbah Dhamma dengan sungguh-sungguh, dengan pikiran yang bertekad untuk memahami segala sesuatu dengan sebenar-benarnya, dan ada di antara mereka yang benar-benar menyadari dan memahami Dhamma ketika sedang mendengarkan.

Tempat ini sangat cocok untuk berlatih meditasi. Setelah tinggal di sini untuk beberapa malam, saya mengetahui bahwa di sini adalah tempat yang penting. Di bagian luarnya, ia sudah damai, dan tinggal yang bagian dalamnya saja, hati dan pikiran kalian. Jadi, saya minta kalian semua untuk berusaha keras memperhatikan dengan seksama.

Mengapa kalian berkumpul di sini untuk berlatih meditasi? Itu karena hati dan pikiran kalian tidak memahami apa yang seharusnya dipahami. Dengan kata lain, kalian tidak benar-benar mengetahui bagaimana segala sesuatunya itu, atau segala sesuatunya itu apa. Kalian tidak mengetahui mana yang salah dan mana yang benar, apa yang menyebabkan kalian menderita dan ragu-ragu. Jadi, pertama-tama kalian harus menenangkan diri kalian sendiri. Alasan kalian datang ke sini guna mengembangkan ketenangan dan ketahanan diri dari hawa nafsu, adalah karena hati dan pikiran kalian tidak nyaman. Pikiran kalian tidak tenang, tidak mampu menahan diri dari hawa nafsu. Mereka diombang-ambingkan oleh keragu-raguan dan godaan. Inilah alasannya mengapa kalian datang ke sini pada hari ini dan sekarang sedang mendengarkan Dhamma.

Saya harap kalian berkonsentrasi dan mendengarkan dengan cermat apa yang saya katakan, dan saya meminta izin untuk berbicara dengan terus terang, karena memang begitulah saya. Harap dimengerti walaupun saya berbicara dengan kesan agak memaksa, saya melakukannya dengan maksud dan tujuan yang baik. Saya meminta maaf kepada kalian, jika ada ucapan-ucapan saya yang menyinggung hati kalian, karena budaya Thailand dan budaya Barat tidaklah sama. Sebenarnya, berbicara dengan sedikit memaksa bisa jadi bermanfaat, karena ia dapat membantu memancing semangat orang-orang yang lesu atau mengantuk, yang bukannya memaksa diri mereka sendiri untuk mendengarkan Dhamma tetapi sebaliknya malah terhanyut dalam kepuasan diri dan sebagai akibatnya mereka tidak mengerti apa pun.

Walaupun kelihatannya terdapat banyak cara untuk berlatih, tetapi sebenarnya hanya ada satu cara saja. Seperti tanaman-tanaman buah, bisa saja kita mempercepatnya untuk berbuah dengan cara menanam cangkokannya, tetapi tanaman tersebut tidak akan bertahan lama. Cara lain adalah dengan menanam tanaman tersebut dari benihnya, yang akan menghasilkan tanaman yang kuat dan tahan lama. Berlatih adalah sama seperti ini.

Ketika saya berlatih untuk pertama kalinya, saya menghadapi kendala untuk memahami hal ini. Selama saya tidak mengetahui sesuatunya itu apa, meditasi duduk adalah hal yang benar-benar sulit, bahkan bisa sampai membuat saya menangis. Kadang-kadang target saya akan terlalu tinggi, di lain waktu kurang tinggi, tak pernah menemukan titik keseimbangan. Berlatih dengan cara yang damai artinya adalah menempatkan pikiran tidak terlalu tinggi atau terlalu rendah, tetapi pada titik keseimbangan.

Saya dapat melihat bahwa hal ini sungguh membingungkan kalian, yang datang dari berbagai tempat yang berbeda-beda dan telah berlatih dengan cara yang berbeda-beda dengan dibimbing oleh guru yang berbeda-beda pula. Datang ke sini untuk berlatih, kalian pasti telah dicemari dengan berbagai jenis keragu-raguan. Guru yang satu bilang kalian harus berlatih dengan cara yang ini, guru yang lain mengatakan kalian seharusnya berlatih dengan cara yang lain pula. Kalian bertanya-tanya cara yang mana yang harus dipakai, tanpa memahami esensi dari latihan. Hasilnya adalah kebingungan. Begitu banyak guru dan begitu banyak ajaran sehingga tidak seorang pun yang tahu bagaimana cara menyelaraskan latihan mereka. Dan sebagai akibatnya, terdapat begitu banyak keragu-raguan dan ketidakpastian.

Jadi, kalian harus mencoba untuk tidak berpikir terlalu banyak. Jika kalian memang benar-benar berpikir, maka lakukanlah dengan penuh kesadaran. Tetapi sejauh ini, pemikiran kalian telah diwujudkan tanpa melalui kesadaran yang tinggi. Pertama-tama, kalian harus membuat pikiran kalian tenang. Di mana ada yang mengetahui, maka di sana tidak ada keperluan untuk berpikir, kesadaran akan muncul pada tempatnya, dan ini selanjutnya akan menjadi kebijaksanaan (panna). Tetapi jenis pikiran yang biasa, bukanlah kebijaksanaan, ia hanyalah pikiran yang tidak mempunyai tujuan dan yang berkelana secara tidak sadar, dan yang tak terelakkan lagi akan berubah menjadi godaan dan hasutan. Ini bukanlah kebijaksanaan.

Pada tahap ini, kalian tidak perlu berpikir. Kalian telah banyak berpikir di rumah, bukan? Ia hanya akan memanas-manasi hati. Kalian harus membangkitkan sedikit kesadaran. Pikiran yang terlalu menggebu-gebu bahkan akan membuat kalian menangis, cobalah saja. Tersesat di dalam gerbong kereta api pikiran, tidak akan menuntun kalian kepada kebenaran, ia bukanlah kebijaksanaan. Sang Buddha adalah orang yang sangat bijaksana, dia telah mempelajari cara untuk menghentikan pikiran. Dengan cara yang sama, kalian juga sedang berlatih untuk menghentikan pikiran dan tiba pada kedamaian. Jika kalian sudah tenang, maka kalian tidak perlu lagi untuk berpikir, kebijaksanaan akan muncul pada tempatnya.

Untuk bermeditasi, kalian tidak perlu berpikir lebih banyak ketimbang bertekad bahwa saat ini adalah waktunya untuk melatih pikiran dan tidak ada yang lain. Jangan biarkan pikiran bergerak ke kiri atau ke kanan, ke depan atau ke belakang, ke atas atau ke bawah. Satu-satunya tugas kita sekarang adalah berlatih untuk memperhatikan nafas dengan penuh perhatian. Pusatkan perhatian kalian di kepala dan gerakkanlah ia ke bawah melalui tubuh menuju ke ujung kaki, dan kemudian kembali ke atas menuju puncak kepala. Arahkan kesadaran kalian ke bawah melewati tubuh, meneliti dengan kebijaksanaan. Kita melakukan ini untuk mencapai suatu pemahaman awal tentang sifat-sifat sejati tubuh ini. Kemudian meditasi barulah dimulai, dengan mengingat bahwa kali ini, satu-satunya tugas kalian adalah untuk memperhatikan nafas masuk dan nafas keluar. Jangan memaksa nafas agar menjadi lebih panjang atau lebih pendek dari biasanya, biarkan saja ia seperti apa adanya. Jangan memberi tekanan apa pun pada nafas, biarkan ia mengalir secara seimbang, lepaskanlah dengan setiap tarikan dan hembusan nafas.

Kalian harus memahami bahwa kalian sedang melepaskan ketika kalian melakukan hal ini, tetapi di sana seharusnya tetap ada kesadaran yang tinggi. Kalian harus mempertahankan kesadaran ini, membiarkan nafas masuk dan keluar dengan nyaman. Tidak perlu memaksakan nafas, biarkan saja ia mengalir dengan mudah dan alami. Pertahankanlah tekad bahwa pada saat ini kalian tidak mempunyai tugas atau tanggung jawab yang lain. Pikiran-pikiran tentang apa yang akan terjadi, apa yang akan kalian ketahui atau lihat selama bermeditasi, bisa saja muncul dari waktu ke waktu, tetapi begitu mereka muncul, biarkan saja mereka berhenti sendiri, jangan dengan sia-sia mengkhawatirkan mereka.

Selama meditasi, adalah tidak perlu untuk memperhatikan kesan-kesan indera. Bilamana pikiran dipengaruhi oleh benturan-benturan sensasi, bilamana terdapat perasaan atau sensasi di dalam pikiran, lepaskan saja dia. Apakah sensasi-sensasi itu baik atau buruk, itu tidaklah penting. Tidak perlu membentuk apa pun dari sensasi-sensasi itu, lepaskan saja mereka pergi dan kembalilah untuk memperhatikan nafas. Pertahankanlah kesadaran pada nafas masuk dan keluar. Jangan membuat penderitaan gara-gara nafas yang terlalu panjang atau terlalu pendek, hanya perhatikan saja dia tanpa mencoba untuk mengatur atau menekannya dengan cara apa pun. Dengan kata lain, jangan melekat. Biarkan nafas berlanjut seperti apa adanya, dan pikiran akan menjadi tenang. Selanjutnya, pikiran akan secara bertahap meletakkan semuanya dan beristirahat, nafas menjadi semakin ringan dan semakin ringan, hingga ia menjadi begitu lemah seolah-olah ia tidak berada di sana sama sekali. Baik tubuh maupun pikiran akan terasa ringan dan berenergi. Dan semua yang tersisa adalah sang mengetahui yang terpusat pada satu titik. Kalian dapat mengatakan bahwa pikiran telah berubah dan mencapai suatu keadaan yang tenang.

Jika pikiran tergoda, bangkitkan perhatian penuh dan tarik nafas dalam-dalam sampai tidak ada ruang kosong lagi untuk menampung udara, lalu lepaskan semuanya hingga tak ada yang tersisa. Ikuti dengan tarikan nafas dalam-dalam yang lain sampai kalian penuh, kemudian hembuskan udara keluar lagi. Lakukan ini dua atau tiga kali, setelah itu bangunlah kembali konsentrasi. Pikiran seharusnya menjadi lebih tenang. Jika ada lagi kesan-kesan indera yang menyebabkan pikiran menjadi terpancing, ulangi langkah ini di setiap kesempatan. Sama halnya dengan meditasi berjalan. Jika pada saat berjalan, pikiran menjadi tergoda, berhentilah tanpa bergerak, tenangkan pikiran, bangkitkan kembali kesadaran diri dengan objek meditasi dan kemudian lanjutkan kembali berjalan. Meditasi duduk dan berjalan pada intinya adalah sama, berbeda hanya pada posisi tubuh.

Kadang-kadang akan ada keragu-raguan, jadi kalian harus memiliki sati, menjadi yang mengetahui, yang secara terus-menerus mengikuti dan memeriksa pikiran yang tergoda, dalam bentuk apa pun ia. Ini artinya untuk memiliki sati. Sati mengawasi dan menjaga pikiran kita. Kalian harus mempertahankan yang mengetahui ini dan tidak ceroboh atau tersesat, tidak perduli dalam kondisi apa pun pikiran itu.

Taktiknya adalah dengan menjadikan sati sebagai pengatur dan pengawas pikiran. Begitu pikiran dipersatukan dengan sati, kesadaran diri yang baru akan muncul. Pikiran yang telah mengembangkan ketenangannya, ditahan untuk diperiksa oleh ketenangan itu, seperti seekor ayam yang dikurung di sangkarnya… si ayam tidak bisa keluar ke mana-mana, tetapi ia tetap bisa bergerak di dalam sangkar itu. Ia berjalan ke sana ke mari, tak menyebabkan masalah pada dirinya, karena ia dikurung di dalam sangkar. Begitu pula halnya dengan kesadaran yang muncul ketika pikiran memiliki sati dan dalam keadaan yang tenang, tidak akan menyebabkan masalah. Tidak ada satu pun pikiran atau perasaan yang muncul di dalam pikiran yang tenang, yang akan menimbulkan bahaya atau gangguan.

Beberapa orang tidak ingin mengalami bentuk-bentuk pikiran atau perasaan-perasaan sama sekali, tetapi ini sudah terlalu jauh. Perasaan muncul di dalam keadaan yang tenang. Pikiran mengalami bentuk-bentuk perasaan dan ketenangan sekaligus pada waktu yang sama, tanpa ada gangguan. Bila ada ketenangan seperti ini, tidak ada akibat yang membahayakan. Persoalan muncul bilamana “ayam” keluar dari “sangkarnya”. Sebagai contoh, kalian mungkin sedang mengawasi nafas masuk dan keluar dan kalian melupakan diri kalian sendiri, membiarkan pikiran mengembara ke mana-mana menjauhi nafas, kembali ke rumah, pergi ke toko-toko atau ke beberapa tempat yang berbeda-beda. Bahkan mungkin sesudah setengah jam lewat, kalian tiba-tiba menyadari bahwa kalian seharusnya berlatih meditasi dan menghukum diri kalian sendiri karena tidak memiliki sati. Di sini kalian harus benar-benar waspada, karena di sinilah tempat di mana ayam keluar dari sarangnya – pikiran meninggalkan dasar ketenangannya.

Kalian harus berhati-hati dalam mempertahankan kesadaran dengan sati dan mencoba menarik kembali pikiran kalian. Walaupun saya memakai kata “menarik kembali pikiran”, tetapi pada kenyataannya pikiran sebenarnya tidak pergi ke mana-mana. Selama ada sati, pikiran akan hadir di sana. Kelihatannya kalian seperti menarik kembali pikiran, tetapi sebenarnya ia belum pergi ke mana pun, ia hanya berubah sedikit. Kelihatannya pikiran pergi ke sana dan ke sini, tetapi kenyataannya perubahan terjadi tepat pada satu titik. Bila sati telah dicapai kembali, dalam sekejap kalian kembali bersama-sama dengan pikiran tanpa perlu membawanya dari tempat lain.

Bila ada pengetahuan secara total, suatu kesadaran yang berkelanjutan dan tidak putus pada setiap saat, ini yang disebut kehadiran pikiran. Jika perhatian kalian melenceng dari nafas ke tempat-tempat yang lain, maka yang mengetahui ini akan putus. Bilamana ada kesadaran terhadap pernafasan, pikiran ada di sana. Dengan adanya nafas dan kesadaran yang berkelanjutan dan seimbang ini saja, kalian telah memiliki pikiran yang hadir di sana.

Harus ada sati dan sampajanna. Sati adalah perhatian penuh dan sampajanna adalah kesadaran diri. Kini, kalian telah menyadari nafas secara jelas. Latihan untuk mengawasi nafas ini membantu sati dan sampajanna untuk berkembang bersama-sama. Mereka berbagi pekerjaan. Memiliki baik sati maupun sampajanna adalah seperti menyuruh dua orang pekerja untuk mengangkat sebuah papan kayu yang berat. Anggap saja ada dua orang yang mencoba mengangkat beberapa papan yang berat, tetapi beratnya begitu hebat, mereka harus bekerja keras, hingga mereka hampir saja menyerah. Lalu ada orang lain, dengan maksud hati yang baik, melihat mereka dan bergegas membantu mereka. Dengan cara yang sama, bila ada sati dan sampajanna, maka panna (kebijaksanaan) akan muncul pada tempat yang sama untuk datang memberikan pertolongan. Lalu mereka bertiga akan saling membantu.

Dengan panna, maka di sana akan ada pemahaman terhadap objek-objek indera. Sebagai contoh, selama bermeditasi, objek-objek indera akan dialami, yang akan menimbulkan perasaan dan suasana hati. Kalian mungkin berpikir tentang seorang sahabat, tetapi kemudian panna seharusnya mengatasinya dengan segera. “Itu tidak masalah”, “Berhenti” atau “Lupakan saja dia”. Atau jika ada pikiran-pikiran tentang ke mana kalian akan pergi esok hari, dan tanggapannya adalah, “Saya tidak tertarik, saya tidak mau membebani diri saya dengan hal-hal semacam itu”. Mungkin kalian mulai memikirkan orang lain, maka kalian seharusnya berpikir, “Tidak, saya tak mau terlibat”. “Lepaskan saja”, atau “Mereka semua tidak pasti dan tidak pernah menjadi sesuatu yang pasti”. Beginilah seharusnya kalian menghadapi hal-hal seperti ini di dalam meditasi, kenali mereka sebagai “tidak pasti, tidak pasti”, dan pertahankanlah kesadaran semacam ini.

Kalian harus melepaskan semua pikiran, percakapan di dalam batin dan keragu-raguan. Jangan terjebak oleh hal-hal semacam ini selama bermeditasi. Pada akhirnya, semua yang tersisa di dalam pikiran yang berada dalam bentuknya yang paling murni adalah sati, sampajanna dan panna. Bilamana ketiganya lemah, keragu-raguan akan muncul, tetapi cobalah untuk mengabaikan keragu-raguan itu secepatnya, menyisakan hanya sati, sampajanna dan panna. Cobalah untuk mengembangkan sati seperti ini hingga ia dapat dipertahankan pada setiap saat. Lalu kalian akan memahami sati, sampajanna dan samadhi secara mendalam.

Memusatkan perhatian pada titik ini, kalian akan melihat sati, sampajanna, samadhi dan panna sekaligus. Apabila kalian tertarik kepada atau ditolak oleh objek-objek indera yang ada di luar, kalian akan mampu berkata pada diri sendiri, “Ia tidak pasti”. Apa pun itu, mereka hanyalah hambatan-hambatan yang akan disapu hingga pikiran menjadi bersih. Yang seharusnya tersisa adalah sati, perhatian penuh; sampajanna, kesadaran diri yang jernih; samadhi, pikiran yang kokoh dan tidak tergoyahkan; dan panna, atau kebijaksanaan yang sempurna. Untuk sementara, hanya ini saja yang akan saya sampaikan mengenai subjek meditasi.

Sekarang, tentang alat-alat bantu untuk latihan meditasi – metta (kebaikan hati) di dalam batin kalian, dengan kata lain, kualitas dari kemurahan hati, kebaikan dan keinginan membantu yang lain. Ini semua harus dipertahankan sebagai dasar dari kemurnian mental. Sebagai contoh, mulailah mengatasi lobha, atau sifat mementingkan diri sendiri, dengan memberi. Bila orang-orang mementingkan diri sendiri, mereka tidak bahagia. Sifat mementingkan diri sendiri akan menuntun kepada perasaan tidak puas, namun orang cenderung menjadi begitu egois tanpa menyadari akibatnya terhadap mereka.

Kalian dapat mengalami hal ini pada setiap saat, terutama ketika kalian lapar. Anggap saja kalian mendapatkan beberapa buah apel dan kalian memiliki kesempatan untuk membaginya dengan seorang teman; kalian memikirkannya sebentar, dan, tentu saja, keinginan untuk memberi memang ada, tetapi kalian ingin memberikan apel yang lebih kecil. Memberikan apel yang lebih besar akan… yah, memang sesuatu yang memalukan. Sungguh sulit untuk berpikir dengan ketulusan hati. Kalian mempersilahkan mereka untuk mengambil sebuah, tetapi kemudian kalian berkata, “Ambil saja yang ini!”… dan memberikan mereka apel yang lebih kecil! Ini adalah salah satu jenis sifat egois yang biasanya tak diperhatikan orang. Pernahkah kalian menjadi seperti ini?

Kalian benar-benar harus melawan kecenderungan di dalam diri, untuk memberi. Walaupun kalian benar-benar ingin memberikan apel yang lebih kecil, kalian harus memaksa diri kalian sendiri untuk memberikan apel yang lebih besar. Tentu saja, begitu kalian memberikannya kepada teman kalian, kalian merasa enak di dalam batin. Melatih pikiran dengan cara melawan kecenderungan di dalam diri seperti ini, memerlukan disiplin diri – kalian harus tahu bagaimana caranya untuk memberi dan cara untuk melepaskan, dengan tidak membiarkan sifat egois tersebut menetap di sana. Begitu kalian mempelajari bagaimana cara untuk memberi, jika kalian tetap merasa ragu tentang buah apa yang akan diberikan, lalu ketika kalian sedang mempertimbangkannya, kalian akan menghadapi kesulitan, dan walaupun kalian memberikan buah yang lebih besar, tetap akan ada suatu perasaan enggan di sana. Tetapi segera setelah kalian memutuskan secara tegas untuk memberikan buah yang lebih besar, masalahnya pun berakhir dan selesai. Inilah yang dinamakan berusaha melawan kecenderungan di dalam diri sendiri dengan cara yang benar.

Melakukan hal ini, kalian telah memenangkan penguasaan atas diri kalian sendiri. Jika kalian tidak dapat melakukannya, kalian akan menjadi mangsa diri kalian sendiri dan terus menerus menjadi egois. Kita semua pernah menjadi egois di masa lalu. Ini adalah kekotoran batin yang perlu dihentikan. Di dalam kitab suci berbahasa Pali, memberi disebut sebagai “dana”, yang artinya membawa kebahagiaan bagi pihak lain. Ia adalah salah satu dari kondisi-kondisi yang membantu membersihkan pikiran dari kekotoran batin. Renungkan hal ini dan kembangkanlah ia di dalam latihan kalian.

Kalian mungkin berpikir bahwa berlatih dengan cara ini adalah seperti memburu diri kalian sendiri, tetapi ia tidaklah demikian. Sebenarnya, ia memburu nafsu keinginan dan kekotoran batin. Jika kekotoran batin muncul di dalam diri kalian, kalian melakukan sesuatu untuk mengatasi mereka. Kekotoran batin mirip seperti kucing liar. Jika kalian memberikannya makanan sebanyak yang ia inginkan, ia akan selalu datang kembali untuk mencari makanan yang lebih banyak lagi, tetapi jika kalian berhenti memberikannya makan, setelah beberapa hari, ia tidak akan datang lagi. Sama halnya dengan kekotoran batin, mereka tidak akan datang mengganggu kalian, mereka akan meninggalkan batin kalian dalam keadaan damai. Jadi, daripada merasa takut akan kekotoran batin, sebaliknya buatlah kekotoran batin itu agar menjadi takut terhadap kalian. Untuk membuat kekotoran batin menjadi takut kepada kalian, kalian harus melihat Dhamma di dalam batin kalian.

Di manakah Dhamma muncul? Ia muncul begitu kita mengetahui dan memahami dengan cara ini. Setiap orang memiliki kemampuan untuk mengetahui dan memahami Dhamma. Ia bukan sesuatu yang harus dicari di buku-buku, kalian tidak perlu banyak-banyak mempelajarinya dari buku untuk memahaminya, renungkan saja ia sekarang dan kalian akan memahami apa yang sedang saya bicarakan. Setiap orang dapat melihatnya karena ia berada tepat di dalam hati kita. Semua orang memiliki kekotoran batin, bukan? Jika kalian mampu melihat mereka, maka kalian akan mengerti. Di masa lalu, kalian telah menjaga dan mengasuh kekotoran batin kalian, tetapi kini kalian harus mengetahui kekotoran batin kalian dan tidak membiarkan mereka datang dan mengganggu kalian.

Latihan yang berikutnya adalah ketahanan moral (sila). Sila mengawasi dan mengasuh latihan kita dengan cara yang sama seperti orangtua yang menjaga anak-anak mereka. Memelihara ketahanan moral berarti tidak hanya menghindari diri dari menyakiti pihak lain, tetapi juga untuk menolong dan mendukung mereka. Kalian seharusnya menjaga sedikitnya lima aturan, yakni :

  1. Tak hanya tidak membunuh atau secara sengaja menyakiti pihak lain saja, tetapi juga menyebarkan kebaikan hati terhadap semua makhluk.
  2. Jujur, menahan diri dari pelanggaran hak-hak pihak lain, dengan kata lain, tidak mencuri.
  3. Mengetahui bagaimana ukuran yang moderat dalam hubungan seksual: Dalam kehidupan rumah tangga terdapat struktur keluarga, berdasarkan pada hubungan antara suami dan istri. Mengetahui siapa suami atau istri kalian, mengetahui ukuran yang moderat, mengetahui batasan-batasan yang layak di dalam kegiatan seksual. Beberapa orang tidak tahu batas. Satu suami atau istri saja tidak cukup, mereka perlu memiliki yang kedua atau yang ketiga. Kalau menurut saya, kalian tak akan dapat memakai bahkan satu orang pendamping pun secara penuh, jadi untuk memiliki dua atau tiga lagi hanyalah untuk menuruti hawa nafsu saja. Kalian harus mencoba untuk membersihkan pikiran dan melatihnya untuk mengetahui ukuran yang moderat. Mengetahui ukuran yang moderat adalah kemurnian yang sebenarnya, tanpanya tindak tanduk kalian tidak akan ada batasnya. Ketika memakan makanan yang enak, jangan terlalu berkutat pada bagaimana rasanya, pikirkan perut kalian dan pertimbangkan berapa jumlah yang cukup untuk keperluannya. Jika kalian makan terlalu banyak, kalian akan menghadapi masalah, jadi kalian harus mengetahui ukuran yang moderat.
  4. Jujur dalam berbicara – ini juga adalah alat untuk melenyapkan kekotoran batin. Kalian harus jujur dan tulus, menyukai kebenaran dan adil.
  5. Menghindarkan diri dari pemakaian zat-zat yang memabukkan. Kalian harus menahan diri dan memilih untuk melepaskan hal-hal ini sama sekali. Orang-orang telah cukup dimabukkan oleh keluarga mereka, sanak saudara dan sahabat-sahabat, kepemilikan benda-benda materi, harta kekayaan dan semua yang lain. Itu sebenarnya sudah cukup tanpa harus membuat keadaan menjadi lebih buruk lagi dengan memakai zat-zat yang memabukkan. Mereka yang memakai dengan jumlah yang banyak, seharusnya mencoba untuk secara bertahap menguranginya dan pada akhirnya melepaskannya semua. Mungkin saya seharusnya meminta maaf kepada kalian, tetapi cara saya berbicara seperti ini adalah untuk kebaikan kalian sendiri, sehingga kalian bisa memahami mana yang baik. Kalian perlu mengetahui sesuatunya itu apa. Hal-hal apa yang menindas kalian di dalam kehidupan sehari-hari kalian? Tindakan-tindakan apa yang menyebabkan kalian tertekan? Perbuatan yang baik memberikan hasil yang baik, dan perbuatan buruk memberikan hasil yang buruk pula. Inilah penyebabnya.

Begitu ketahanan mental menjadi murni, akan ada suatu perasaan jujur dan baik terhadap pihak lain. Ini akan membawa kepada kepuasan dan kebebasan dari kekhawatiran dan penyesalan. Penyesalan yang berasal dari perilaku yang agresif dan merugikan, tidak akan berada di sana. Ini adalah suatu bentuk kebahagiaan. Ia hampir menyerupai suatu keadaan surgawi. Ada kenyamanan, kalian makan dan tidur dengan nyaman, dibarengi dengan kebahagiaan yang muncul dari ketahanan moral. Inilah hasilnya; memelihara ketahanan moral adalah penyebabnya. Ini adalah prinsip dari praktek Dhamma – menahan diri dari perbuatan yang buruk sehingga kebaikan bisa muncul. Jika ketahanan moral dijaga dengan cara ini, kejahatan akan hilang dan kebaikan akan muncul pada tempatnya. Ini adalah hasil dari praktek yang benar.

Tetapi ini bukanlah akhir dari cerita. Begitu orang-orang mencapai sedikit kebahagiaan, mereka cenderung menjadi tidak perduli dan tidak melanjutkan latihan mereka lagi. Mereka terjebak di dalam kebahagiaan. Mereka tak ingin mengalami kemajuan lagi, mereka lebih menyukai kebahagiaan “di surga”. Ia memang menyenangkan, tetapi di sana tidak ada pemahaman yang sebenarnya. Kalian harus terus merenungkannya agar tidak terperdaya. Renungkanlah lagi dan lagi, tentang kekurangan-kekurangan dari kebahagiaan yang satu ini. Ia fana, ia takkan bertahan selama-lamanya. Tidak lama lagi, kalian akan berpisah darinya. Ia bukanlah hal yang pasti, begitu kebahagiaan hilang maka penderitaan pun muncul pada tempatnya dan air mata menetes lagi. Bahkan makhluk-makhluk surgawi pun akan berakhir di dalam tangisan dan penderitaan.

Jadi, Sang Buddha mengajarkan kita untuk merenungkan kekurangan-kekurangan tersebut, bahwa ada sisi-sisi yang tidak memuaskan dari kebahagiaan. Biasanya, ketika jenis kebahagiaan seperti ini dialami, di sana tidak ada pemahaman yang sebenarnya tentangnya. Kedamaian yang benar-benar pasti dan tahan lama, telah ditutupi oleh kebahagiaan yang penuh tipu daya ini. Kebahagiaan yang satu ini bukanlah jenis kedamaian yang pasti atau kekal, melainkan suatu bentuk kekotoran batin, sejenis kekotoran batin yang lebih halus, yang kita lekati. Setiap orang ingin bahagia. Kebahagiaan muncul disebabkan oleh kesukaan kita terhadap sesuatu. Begitu rasa suka tersebut berubah menjadi ketidaksukaan, penderitaan muncul. Kita harus merenungkan kebahagiaan ini untuk memahami ketidakpastian dan keterbatasannya. Begitu segala sesuatunya berubah, penderitaan pun muncul. Penderitaan ini juga tidak pasti, janganlah berpikir bahwa ia tetap dan mutlak. Perenungan semacam ini disebut adinavakatha, perenungan terhadap ketidakcukupan dan keterbatasan dari dunia yang berkondisi. Ini artinya untuk merenungkan kebahagiaan, daripada menerimanya begitu saja. Memahami bahwa ia tidak pasti, kalian seharusnya tidak cepat-cepat melekat kepadanya. Kalian seharusnya memegangnya tetapi kemudian lepaskanlah ia, untuk melihat manfaat dan bahaya dari kebahagiaan. Untuk bermeditasi dengan terampil, kalian harus melihat kekurangan-kekurangan yang bersatu-padu di dalam kebahagiaan. Renungkan dengan cara ini. Bila kebahagiaan muncul, renungkanlah ia dengan seksama hingga kekurangan-kekurangan itu menjadi jelas.

Ketika kalian melihat bahwa segala sesuatunya itu tidak sempurna (dukkha), batin kalian akan memahami nekkhammakatha, perenungan tentang pembebasan dari hawa nafsu. Pikiran ini akan menjadi tidak tertarik dan mencari jalan keluar. Ketidaktertarikan muncul setelah melihat bagaimana bentuk-bentuk itu sebenarnya, bagaimana citarasa-citarasa itu sebenarnya, bagaimana cinta dan benci itu sebenarnya. Menjadi tidak tertarik artinya bahwa tidak ada lagi keinginan untuk melekat atau terikat pada segala sesuatunya. Ada penarikan mundur dari kemelekatan, sampai pada suatu titik di mana kalian bisa tinggal dengan nyaman, memperhatikan dengan suatu ketenangan yang bebas dari keterikatan. Inilah kedamaian yang muncul dari latihan.

-Evam-

Catatan: Ceramah ini diberikan di Vihara Hampstead, London, pada tahun 1977.

Sumber:The Teachings Of Ajahn Chah”, Sub judul: “Living Dhamma – Meditation
Oleh: Y. M. Ajahn Chah
Diterjemahkan oleh: TN

REKOMENDASIKAN: