Anatta – Tanpa Inti dan Bukan Diri
Anatta (Pali: anattā; Skt: anatman) adalah karakteristik atau sifat “tanpa inti” atau “bukan diri” atau “bukan roh” atau “bukan entitas sejati” yang ada pada semua keberadaan/segala sesuatu yang ada.
Anatta merupakan salah satu dari tiga karakteristik keberadaan atau tiga corak umum (Pali: tilakkhaṇa, Skt: trilakṣaṇa), selain anicca dan dukkha.
Pengertian Atta
Kata atta (Pali: attā; Skt: atman) berarti inti, roh, atau diri atau ego.
Menurut pandangan umum (bukan pandangan Buddhis), atta adalah inti, roh, diri sesungguhnya (entitas sejati), atau wujud asli di dalam segala sesuatu yang ada. Dan atta dipercaya memiliki sifat yaitu, tetap, tidak berubah, kekal, langgeng, abadi (Pali: nicca; Skt: nitya), tanpa batas, serta dapat dimiliki, dapat diatur/dikendalikan sesuai dengan kehendak.
Menurut pandangan Buddhis, tidak ada yang disebut dengan atta dalam pandangan umum di atas. Namun, kata atta digunakan dalam ajaran Agama Buddha hanya sebagai kosakata bahasa yang merujuk pada wujud, individu, personalitas, orang, makhluk, sesuatu yang terbentuk dari perpaduan (Pali: saṅkhārā).
Pengertian Anatta
Istilah anatta berasal dari kata atta dengan ditambahkan kata awalan bersifat penolakan yaitu “an” yang berarti “tanpa” atau “bukan”.
Mengartikan kata anatta perlu memperhatikan arti dari kata atta yang dimaksud, serta pengertian dan maksud dari ajaran tentang anatta itu sendiri.
Jika yang dimaksud dengan atta adalah adanya inti, roh yang ada di dalam sesuatu, maka ajaran Buddha menolak hal ini. Ajaran Buddha mengajarkan bahwa tidak ada sesuatu yang merupakan inti dari segala sesuatu yang ada. Untuk itu dalam hal ini anatta berarti “tanpa inti”, “tanpa roh”.
Jika yang dimaksud dengan atta adalah segala bentuk keberadaan merupakan “diri” (entitas/wujud yang tetap, abadi, kekal), maka ajaran Buddha menolak hal ini. Untuk itu dalam hal ini anatta berarti “bukan diri”.
Dengan pengertian tersebut maka anatta bukan berarti tidak ada segala sesuatu, tidak ada diri, tidak ada individu, tetapi segala sesuatu yang ada adalah bukan diri atau tidak bisa disebut sebagai diri (entitas/wujud yang tetap, abadi, kekal, dapat dimiliki, dapat diatur/dikendalikan sesuai dengan kehendak).
Singkatnya, ajaran anatta adalah bentuk penolakan dari pandangan umum atas atta atau diri yang tetap, kekal atau abadi.
Anatta juga disebut dan diartikan sebagai “kosong” (Pali: suñña; Skt: śūnya) atau “kekosongan” (Pali: suññatā; Skt: śūnyatā).[1] Dalam hal ini kosong dari diri atau inti (atta).
Karakteristik Anatta
Karakteristik anatta tidak lepas dari karakteristik anicca (Skt: anitya) yaitu karakteristik tidak tetap atau tidak kekal. Dan tidak lepas juga dari karakteristik dukkha (Skt: duḥkha) yaitu karakteristik keluh kesah, ketidakpuasan atau penderitaan.
Karakteristik atau sifat anatta ini terdapat pada semua keberadaan/segala sesuatu (sabbe dhamma), baik segala yang terbentuk dari perpaduan (Pali: saṅkhārā) maupun yang bukan dari perpaduan.[2] Semua keberadaan tidak memiliki inti atau roh di dalamnya. Semua keberadaan bukanlah bentuk diri.
Segala yang terbentuk dari perpaduan dikatakan memiliki karakteristik anatta karena tidak tetap (anicca) dan menyebabkan penderitaan (dukkha).
Sri Buddha dalam Anattalakkhaṇa Sutta menjelaskan bahwa segala sesuatu yang tidak kekal memiliki karakteristik anatta. Begitu juga segala sesuatu yang menyebabkan penderitaan memiliki karakteristik anatta.[3][4]
Segala sesuatu yang tidak kekal memiliki karakteristik bukan diri (anatta) karena di dalam ketidakkekalan tidak ada sesuatu yang tetap, langeng atau abadi, dapat dimiliki, dapat dikendalikan, sehingga sifat abadi atau kekal yang dikatakan ada pada atta (diri atau entitas atau kesejatian diri) tidak mungkin ada. Sesuatu yang tidak memiliki sifat diri (atta) maka disebut bukan diri (anatta).
Segala sesuatu yang menyebabkan penderitaan memiliki karakteristik bukan diri (anatta) karena segala sesuatu yang menyebabkan penderitaan tersebut adalah sesuatu yang tidak tetap (anicca), tidak dapat diatur/dikendalikan dan tidak dapat dimiliki sesuai keinginan diri sendiri. Tidak tetap, tidak dapat diatur/dikendalikan, dan tidak dapat dimiliki, bukanlah sebuah sifat dari diri (atta), Sesuatu yang tidak memiliki sifat diri (atta) maka disebut bukan diri (anatta).
Karakteristik anatta muncul secara otomatis bersamaan dengan munculnya semua keberadaan/segala sesuatu. Ketika sebuah keberadaan muncul maka karakteristik anatta ada padanya. Karakteristik anatta tidak dapat dipisahkan dari semua keberadaan/segala sesuatu.
Tidak Adanya Kesejatian Diri dan Tanpa Inti
Ada atau tidaknya sesuatu lebih dikarenakan ada atau tidaknya komponen/unsur pembentuk sesuatu itu. Dan unsur-unsur inilah yang memiliki sifat tidak kekal atau berubah-ubah (anicca).
Karena unsur-unsur itu sifatnya tidak kekal atau berubah-ubah (anicca), maka keberadaan dari sesuatu yang dibentuk dari unsur-unsur tersebut menjadi tidak menentu. Ketidakmenentuan inilah yang membuat jati diri atau kesejatian diri itu tidak bisa terbentuk, dan tidak ada.
Dan ketika unsur-unsur pembentuk dari sesuatu itu hancur dan tidak ada lagi, maka sesuatu tersebut menjadi tidak ada lagi, dan tidak ada inti atau wujud sejati di dalamnya yang muncul setelah hal itu terjadi.
Contoh 1:
Dalam sebuah ruangan ada sebuah sofa. Sesuatu disebut sofa karena bentuk dan bahan-bahan yang membentuknya.
Ketika bahan-bahan pembentuknya hancur, dipisahkan darinya maka benda yang disebut dengan sofa menjadi tidak ada lagi. Tidak ada yang disebut sofa lagi ketika yang tinggal hanyalah sepotong kayu. Bahan-bahan pembentuknya juga tidak disebut sebagai sofa.
Wujud dari sofa tersebut bukan diri sesungguhnya, jika wujud tersebut merupakan diri sesungguhnya (atta) maka ia tidak akan hancur, ia akan tetap ada meskipun bahan-bahan pembentuknya di hilangkan.
Setelah bahan-bahan pembentuknya hancur, dipisahkan dari sebuah sofa, maka tidak ada di dalamnya bentuk atau wujud sejati dari sofa itu. Tidak ada diri sejati dari sofa tersebut.
Contoh 2:
Begitu juga para makhluk hidup. Disebut makhluk hidup karena terbentuk dari perpaduan lima agregat (Pali: pañca khanda; Skt: pañca skanda), yaitu: jasmani, perasaan, persepsi, formasi kehendak, dan kesadaran.
Dan ketika unsur-unsur tersebut mengalami kehancuran dan pemadaman dalam diri suatu makhluk, maka makhluk tersebut menjadi tidak ada lagi. Tidak ada di dalamnya bentuk atau wujud sejati dari makhluk tersebut. Tidak ada roh atau tubuh halus yang keluar darinya.
Jasmani atau tubuh selalu mengalami perubahan, bahkan unsur-unsur terkecil pembentuknya selalu muncul dan lenyap. Karena itulah jasmani atau tubuh tidak bisa benar-benar dimiliki. Seseorang tidak dapat mengendalikan jasmani atau tubuhnya agar bentuknya sesuai dengan keinginannya, agar tubuhnya tidak sakit, agar seperti ini dan itu, dan lain sebagainya. Karena itulah jasmani atau tubuh adalah bukan diri (anatta) yang dapat dimiliki dan dikendalikan. Demikian pula dengan perasaan, persepsi, formasi kehendak, dan kesadaran, selalu muncul dan lenyap, tidak dapat dimiliki, tidak dapat dikendalikan, sehingga bukan diri (anatta)
Nibbana adalah Anatta dan Sunyata
Karakteristik atau sifat anatta terdapat pada semua keberadaan/segala sesuatu (sabbe dhamma), itu berarti juga ada pada keberadaan yang bukan dari hasil perpaduan.
Satu-satunya keberadaan yang bukan dari hasil perpaduan adalah Nibbana (Pali: Nibbāna; Skt: Nirvāṇa).
Sebagai Kebenaran Absolut (Pali: Paramattha-sacca; Skt: Paramārtha-satya; “kebenaran tertinggi”), Nibbana tidak dilahirkan, tidak menjelma, tidak diciptakan, dan keberadaannya bukan/tidak dari perpaduan.[5] Selain itu, tidak ada apa pun pada Nibbana.[6] Oleh karena itu tidak ada inti atau diri apa pun yang melekat atau berada di dalamnya. Dan karena itu juga Nibbana memiliki karakteristik bukan diri atau tanpa inti (anatta).
Karena anatta juga disebut sebagai “kosong” (Pali: suñña; Skt: śūnya) atau “kekosongan” (Pali: suññatā; Skt: śūnyatā), maka Nibbana yang juga memiliki karakteristik anatta juga disebut Kosong atau Kekosongan. Dan kosong yang dimaksud adalah kosong dari diri (atta).
– Selesai –
Catatan:
[1] Paṭhama Nibbāna Sutta, Khuddaka Nikāya: Udāna 8.1 (Udāna: Pāṭaligāmiyavagga 1 {Udāna 71} versi Chaṭṭha Saṅgāyana CD-ROM – CSCD), Kanon Tipitaka Pali.
[2] Khuddaka Nikāya: Dhammapada: Maggavagga 279 , versi Chaṭṭha Saṅgāyana CD-ROM – CSCD, Kanon Tipitaka Pali.
[3] Anattalakkhaṇa Sutta, Saṃyutta Nikāya 22.59 (Saṃyutta Nikāya: Khandhavagga: Khandha Saṃyutta: Upayavagga 7 {Khandhavagga 59} versi Chaṭṭha Saṅgāyana CD-ROM – CSCD), Kanon Tipitaka Pali.
[4] Sutra Sabda Buddha tentang Panca Skanda adalah Kosong (佛說五蘊皆空經 – Fú Shuō Wǔyùn Jiē Kōng Jīng), Kanon Tripitaka Taisho 102 versi Chinese Buddhist Electronic Text Association (CBETA).
[5] Paṭhama Nibbāna Sutta, Khuddaka Nikāya: Udāna 8.3 (Udāna: Pāṭaligāmiyavagga 3 {Udāna 73} versi Chaṭṭha Saṅgāyana CD-ROM – CSCD), Kanon Tipitaka Pali.
[6] Paṭhama Nibbāna Sutta, Khuddaka Nikāya: Udāna 8.1 (Udāna: Pāṭaligāmiyavagga 1 {Udāna 71} versi Chaṭṭha Saṅgāyana CD-ROM – CSCD), Kanon Tipitaka Pali.
Disusun oleh: Bhagavant.com