Awal Mula Detik-detik Waisak di Indonesia
Detik-detik Waisak (Vesak) merupakan salah satu ciri khas dari peringatan Hari Vesak yang dilakukan oleh umat Buddha di Indonesia. Bagaimana awalnya tradisi ini muncul?
Hari Trisuci Waisak merupakan hari raya yang sangat penting bagi umat Buddha di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Terdapat berbagai cara dan tradisi yang dilakukan dalam merayakan hari yang memperingati tiga peristiwa ini.
Salah satu tradisi perayaan Hari Vesak yang ada di Indonesia adalah “Detik-detik Waisak” yang ditunggu oleh umat Buddha di Indonesia sebagai puncak dari rangkaian puja bakti perayaan Waisak.
Tradisi menungu “Detik-detik Waisak” ini merupakan ciri khas dari tradisi Buddhis di Indonesia dan tidak ada umat Buddha di negara lain yang mempraktikkan tradisi ini.
Meskipun sudah dipraktikkan puluhan tahun, namun tidak sedikit orang yang belum memahami apa dan bagaimana tradisi “Detik-detik Waisak” itu bisa muncul.
Detik-detik Waisak adalah momen berupa jam, menit dan detik yang ditunggu dan diyakini jatuh pada saat yang tepat dan pas ketika terjadinya tiga peristiwa agung yaitu kelahiran Pangeran Siddhattha Gotama sebagai calon Buddha (Bodhisatta), pencapaian Pencerahan Sempurna dari Petapa Gotama, dan kewafatan mutlak (Parinibanna) Buddha Gotama. Ketiga peristiwa tersebut terjadi pada hari munculnya Bulan Purnama.
Lalu bagaimana asal mula munculnya tradisi Detik-detik Waisak ini? Apa yang mendasari munculnya tradisi khas umat Buddha di Indonesia ini?
Embrio Detik-detik Waisak
Sejarah tradisi Detik-detik Waisak di Indonesia tidak lepas dari keberadaan Theosofische Vereniging (Perhimpunan Masyarakat Teosofi) di Indonesia yang merayakan Hari Vesak di Candi Borobudur.
Diketahui bahwa pada perayaan Hari Vesak tahun 1932, salah satu kegiatan yang dilakukan oleh para anggota Theosofische Vereniging cabang Hindia Belanda dan sejumlah umat Buddha setelah mereka berada di puncak Candi Borobudur adalah mendiskusikan sebuah buku berjudul “The Masters and the Path” (De Meester en het Pad – Para Guru dan Sang Jalan) karya Charles Webster Leadbeater.
Charles Webster Leadbeater sendiri adalah salah satu tokoh Perhimpunan Masyarakat Teosofi yang awalnya adalah seorang pendeta Gereja Inggris.
Pada Bagian IV (Bab XIV) dalam buku “The Masters and the Path” (De Meester en het Pad), salah satu isinya membahas mengenai upacara Vesak yang dilakukan oleh para “Adept” atau para “Guru Kebijaksanaan” dalam tradisi spiritual Teosofi.
Menurut buku itu, dalam upacara Vesak tersebut para “Adept” dan para peziarah berkumpul di sebuah dataran kecil yang dikelilingi perbukitan rendah, yang terletak di sisi utara pegunungan Himalaya, tidak jauh dari perbatasan Nepal, sekitar empat ratus mil sebelah barat kota Lhassa.
Dikatakan bahwa para peziarah yang hadir dalam upacara tersebut sebelumnya akan melakukan upacara mandi khusus dan mencuci semua pakaian mereka. Dan setengah jam sebelum momen Bulan Purnama penuh, para hadirin berkumpul di depan altar batu dan membacakan teks-teks Buddhis dan mengucarkan ayat-ayat dalam bahasa Pali.
Saat pengucaran ayat-ayat selesai dilakukan, maka disusul dengan beberapa saat momen hening sebelum terjadinya Bulan Purnama penuh.
Dalam buku tersebut tertulis bahwa momen Bulan Purnama penuh itu sendiri tiba saat seorang “Adept” yang disebut “Maitreya” menaruh sebuah tongkat setelah sebelumnya di angkat dari atas altar. Dan kemudian sosok yang sangat besar yang diklaim sebagai sosok Sri Buddha muncul dan melayang di udara dalam upacara tersebut. Kemudian para hadirin mengucapkan perenungan terhadap Buddha, Dhamma dan Sangha1, diikuti dengan pengucarkan Maṅgala Sutta (baca: manggala sutta).
Momen menunggu kemunculan sosok “Buddha” besar inilah yang mungkin menjadi embrio awal munculnya penantian momen “Detik-detik Waisak” yang dilakukan oleh para anggota Theosofische Vereniging saat merayakan Vesak di Candi Borobudur, meskipun tidak terpublikasikan secara jelas.
Selain kemunculan sosok “Buddha” besar yang berdasarkan pada buku “The Masters and the Path”, sejauh ini tidak ada tanda-tanda atau informasi lain yang mengarah pada terciptanya tradisi menunggu “Detik-detik Waisak.”
Bisa jadi, sejak saat perayaan Vesak 1932 yang membahas mengenai buku “The Masters and the Path”, menjadi titik awal mula tradisi “Detik-detik Waisak”, meskipun tidak menggunakan istilah yang sama dan tidak menggunakan cara penentuan waktu yang sama dengan yang ada sekarang.
Seperti yang terjadi pada Vesak 1938, momen menunggu “Detik-detik Waisak” bisa saja juga telah dilakukan di antara rentang waktu upacara Vesak yang berlangsung pada saat itu, yaitu antara pukul 18.00 WIB hingga 22.30 WIB.2 Namun yang jelas, menurut perhitungan astronomi modern, fase Bulan Purnama pada 14 Mei 1938 jatuh pada sekitar pukul 15.38.58 WIB.
Mengapa di Candi Borobudur?
Upacara Vesak dilakukan oleh Theosofische Vereniging di Candi Borobudur berdasarkan pada keyakinan bahwa Candi Borobudur dengan kehadiran ratusan rupaka Buddha dan stupa adalah situs suci Buddhis yang penuh dengan energi spiritual sebagai manifestasi dari Sri Buddha.
Theosofische Vereniging juga mempercayai bahwa upacara Vesak di Borobudur akan membawa harmoni dan perdamaian bagi dunia, serta membantu memperkuat energi spiritual di situs tersebut, sekaligus melestarikan candi tersebut.
Dalam upacara-upacara Vesak yang diselenggarakan, para anggota Theosofische Vereniging melakukan upacara Vesak seperti yang dilakukan oleh para “Adept” atau para “Guru Kebijaksanaan” dalam tradisi spiritual Teosofi, seperti yang tertulis dalam buku “The Masters and the Path” (De Meester en het Pad).
Lahirnya Detik-detik Waisak
Perayaan Vesak di Borobudur yang berlangsung sejak tahun 1927 dan hanya dalam kalangan terbatas komunitas Teosofi, sempat terhenti karena perang revolusi kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 1945 hingga 1949.
Sejak kedatangan Y.M. Narada Thera, Dhammaduta dari Sri Lanka ke Indonesia pada tahun 1934, hingga masa kemerdekaan Indonesia jumlah umat Buddha di Indonesia semakin berkembang.3
Dan akhirnya, pada masa kemerdekaan Indonesia yaitu pada Jumat tanggal 22 Mei 1953, untuk pertama kalinya perayaan Vesak (Waisak) diadakan di Candi Bodobudur, Magelang, Jawa Tengah, oleh kalangan umat Buddha. Perayaan Vesak 2497 Era Buddhis tersebut diprakarsai oleh Anagarika Tee Boan An (kemudian menjadi Y.M. Ashin Jinarakkhita) dan dihadiri oleh sekitar lebih dari tiga ribu orang.
Dalam perayaan Vesak 1953 tersebut, istilah dan praktik Detik-detik Waisak sudah diperkenalkan dengan adanya puja bakti dan renungan yang menurut perhitungan penyelenggara pada waktu itu, jatuh tepat pada siang tengah hari. Saat itu, Anagarika Tee Boan An yang memberikan tanda dimulainya renungan luhur Detik-detik Waisak.4
Tidak terlacak berdasarkan atau menggunakan perhitungan apa dalam menentukan Detik-detik Waisak saat itu. Bahkan menjadi pertanyaan, mengapa tanggal 22 Mei (tanggal 10 bulan ke-4 kalender Imlek) alih-alih 20 Mei (tanggal 8 bulan ke-4 kalender Imlek), atau 27 Mei (tanggal 15 bulan ke-4 kalender Imlek) atau 28 Mei yang memiliki dasar perhitungannya.5
Berdasarkan berbagai sumber, Vesak pada tahun 1953 dirayakan pada tanggal yang berbeda-beda, namun masih sesuai dengan perhitungan tradisi yang diyakini.
Buddhis Malaysia dan Hong Kong yang menganut Mahayana Asia Timur merayakan Vesak 1953 pada 20 Mei (tanggal 8 bulan ke-4 kalender Imlek), sedangkan Buddhis Mahayana Asia Timur di Singapura dan Taiwan ada yang merayakannya pada 27 Mei (tanggal 15 bulan ke-4 kalender Imlek).
Buddhis Myanmar yang menganut tradisi Theravada merayakan Vesak 1953 pada 27 Mei, sedangkan Buddhis Sri Lanka dan Thailand yang juga menganut tradisi Theravada merayakannya pada 28 Mei 1953.
Menurut perhitungan astronomi modern, Bulan Purnama ke-5 pada tahun 1953 jatuh pada Jumat 29 Mei 1953 pukul 00:32 WIB6 atau pukul 00:02:59 WIB7. Negara-negara yang berada dalam zona waktu yang lebih belakangan sejam atau lebih dari Indonesia, Bulan Purnama ini muncul pada Kamis 28 Mei 1953 di tengah malam bahkan pada siang hari, misalnya di Amerika Serikat.
Ini berarti, berdasarkan perhitungan astronomi modern dan dengan catatan bahwa informasi dan data mengenai Vesak pertama di Candi Borobudur yang selama ini beredar adalah benar adanya yaitu 22 Mei 1953, maka pada saat itu tidak ada (belum muncul) Bulan Purnama, meskipun Detik-detik Waisak pada 1953 dilaksanakan pada siang tengah hari.
Terlepas dari bagaimana menentukan tanggal dan Detik-detik Waisak 1953, perayaan Vesak di Candi Borobudur yang dihadiri oleh banyak orang ini, menjadi hari kelahiran bagi perayaan Waisak Nasional di Indonesia dengan keberadaan Detik-detik Waisak sebagai ciri khasnya.
Modernisasi Detik-detik Waisak
Meskipun perayaan Hari Vesak sudah mulai dirayakan oleh umat Buddha di Indonesia sejak kedatangan Y.M. Narada Thera pada tahun 1934, namun hingga tahun 1978 perbedaan terhadap penentuan kapan Hari Raya Waisak secara nasional masih terjadi.
Hal tersebut terjadi karena adanya beragam tradisi Agama Buddha yang dianut oleh umat Buddha di Indonesia dengan beragam penanggalan dan cara menentukannya. Dengan masih adanya perbedaan tersebut, maka penentuan Detik-detik Waisak belum bisa dilakukan secara nasional.
Pada April 1979, para pemimpin dari majelis-majelis Agama Buddha yang tergabung dalam Perwalian Umat Buddha Indonesia (WALUBI) melakukan musyawarah untuk menentukan patokan dalam menentukan Hari Raya Waisak di Indonesia.8
Patokan tersebut kemudian menjadi acuan penentuan Hari Raya Waisak saat Hari Trisuci tersebut resmi menjadi hari libur nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 03/1983 tertanggal 19 Januari 1983 atas permintaan organisasi Pemuda Buddhis Indonesia (Pembudi) kepada pemerintah pada tahun 1981 dan 1982.
Sebelum Surat Keputusan Presiden tersebut disahkan, Hari Raya Waisak hanya sebagai hari libur fakultatif yaitu libur hanya diberikan kepada pemeluk Agama Buddha, bukan bersifat nasional.
Dengan adanya kesepakatan bersama mengenai penetapan Hari Raya Waisak nasional, maka Detik-detik Waisak pun dapat ditetapkan secara nasional.
Dan berdasarkan kesepakatan, Detik-detik Waisak dihitung berdasarkan perhitungan ilmu astronomi modern yang bersifat universal dan ilmiah.
Herman Satriyo Endro Jayamedho yang kemudian menjadi Y.M. Jayamedho Thera merupakan tokoh Buddhis yang berperan dalam formalisasi dan penetapan waktu Detik-detik Waisak yang penerapannya untuk beberapa puluh tahun di masa mendatang.
Dalam bukunya berjudul “Hari Raya umat Buddha dan Kalender Buddhis 1996 – 2026”, beliau membahas mengenai hari raya umat Buddha dan penanggalan atau kalender Buddhis serta tabel hari raya umat Buddha termasuk penetapan jadwal Detik-detik Waisak dari tahun 1996 hingga 2026.
Namun, di dalam buku tersebut tidak menyertakan contoh proses perhitungan terhadap Detik-detik Waisak yang beliau dapatkan. Hal tersebut mungkin karena proses perhitungannya yang memang cukup rumit dan sukar untuk dipahami bagi pembaca yang awam dalam bidang ilmu astronomi.
Meskipun demikian, beliau juga melampirkan sumber-sumber dan rumus-rumus astronomi yang digunakan untuk menghitung Detik-detik Waisak berdasarkan ilmu astronomi modern.
Kesimpulan
Detik-detik Waisak adalah momen berupa jam, menit dan detik yang ditunggu dan diyakini jatuh pada saat yang tepat dan pas ketika terjadinya tiga peristiwa agung yang terjadi dalam kehidupan Buddha Gotama.
Perayaan Hari Vesak (Waisak) tahun 1932 di Candi Borobudur menjadi embrio dari tradisi Detik-detik Waisak yang dipraktikkan di Indonesia. Dan perayaan Hari Vesak tahun 1953 menjadi kelahiran dari tradisi Detik-detik Waisak.
Dengan adanya kesepakatan bersama mengenai penentuan Hari Raya Waisak Nasional melalui patokan yang telah dibuat para pemimpin dari majelis-majelis Agama Buddha di Indonesia, maka tradisi Detik-detik Waisak bisa ditentukan dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perayaan Hari Trisuci tersebut.
– Evam –
Catatan:
- Dalam buku “The Masters and the Path” susunan kalimatnya seperti gabungan dari perenungan (anusati) terhadap Buddha, Dhamma, dan Sangha, dengan Vesak Puja Gatha, dan tiap perenungan diakhir dengan “I take for my guide” (menjadi panduanku). ↩︎
- Oei Thiam An, “Kerajaan Wezak di Boroboedoer”, Sam Kauw Gwat Po: Orgaan
dari Batavia Buddhist Association, Sam Kauw Hwe Batavia, Menado dan
Telokbetong, 45 (June 1938), 30. ↩︎ - Sam Kauw Gwat Po – No. 38 Tahun Ke-4, November 1937. ↩︎
- Juangari, Edij. 1999. Menabur Benih Dharma Di Nusantara – Riwayat Singkat Bhikkhu Ashin Jinarakkhita. Cetakan Ke-2. Bandung. Halaman 21 dan 46. ↩︎
- Dalam tradisi Mahayana, setidaknya ada 2 versi dari hari lahir Buddha yaitu pada tanggal 8 bulan 4 berdasarkan penanggalan Imlek atau tanggal 15 bulan 4 penanggalan Imlek. ↩︎
- Time and Date (https://www.timeanddate.com/moon/phases/?year=1953) ↩︎
- Berdasarkan perhitungan algoritma Jean Meeus dari buku Astronomical Algorithm Second Edition tahun 1998, dan tergantung rumus dan caa yang digunakan. ↩︎
- Endro, Herman S. 2021. Hari Raya umat Buddha dan Kalender Buddhis 1996-2026. Cetakan Ke-3, Yayasan Dhammadiepa Arama. Halaman 88 – 89. ↩︎