Kebenaran – Pengetahuan Tentang Apa Adanya

Kebenaran (Pali: sacca, taccha, tatha; Skt: satya) adalah pengetahuan (termasuk gagasan dan pemahaman) yang sesuai dengan apa adanya, seharusnya, realitasnya dari sesuatu (objek).

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia[1], kebenaran berarti keadaan (hal dan sebagainya) yang cocok dengan keadaan (hal) yang sesungguhnya.

Sifat Kebenaran

Suatu kebenaran memiliki sifat atau ciri-ciri khas yang dapat dikenali dan membedakannya dengan yang lain.

Sifat yang pertama sesuai dengan pengertian di atas, yaitu sesuai dengan apa adanya. Kebenaran tidak hanya menyangkut mengenai masalah kemoralan atau kebaikan semata, tetapi segala sesuatu yang keberadaannya apa adanya. Contoh: sebuah gunung memiliki puncak dan lembah, ini adalah kebenaran karena sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dari gunung yang memang memiliki puncak dan lembah, dan ini tidak berkaitan dengan kemoralan.

Sedangkan kemoralan menjadi salah satu bagian dari kebenaran karena di dalamnya terkandung tuntunan yang bersifat apa adanya, yang mengarah pada kemanfaatan untuk kebahagiaan dan berujung pada Kebebasan Tertinggi atau Terakhir.

Selain memiliki sifat yaitu sesuai dengan apa adanya, kebenaran memiliki ciri kedua yaitu tunggal atau tidak mendua. Dalam Cūḷabyūha Sutta, Sri Buddha mengatakan, “Kebenaran itu satu tidak mendua” (Pali: Ekaṃ hi saccaṃ na dutiyamatthi)[2]. Sebagai contoh: ketika seseorang mengatakan dua ditambah tiga sama dengan lima, dan seseorang yang lain mengatakan dua ditambah tiga sama dengan tujuh, maka hanya ada satu dari perkataan dari dua orang tersebut yang benar tidak mungkin kedua-duanya benar.

Sifat ketiga dari kebenaran adalah sifat pasif atau diam, yaitu meskipun berada di mana saja, kebenaran tidak bisa mengungkapkan dirinya sendiri, ia baru dapat diketahui saat dicarim diselidiki, dan diungkapkan oleh subjek (pelaku). Contoh: air mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah, kebenaran ini akan didapat saat seseorang melihat dan memperhatikan sifat air tersebut, bukan sifat air yang memberitahukan dirinya kepada orang tersebut.

Karena sifatnya yang pasif tersebut, kebenaran tidak terlihat atau pun sukar untuk dilihat bagi banyak orang yang tidak mencari atau pun mereka yang pandangannya (secara fisik atau batin) terhalangi oleh sesuatu atau berbagai hal. Untuk melihat kebenaran seseorang harus memperjelas pandangannya dan menghilangkan penghalang yang menghalangi pandangan. Dalam Dutiya Nibbāna Sutta, Sri Buddha mengatakan, “Apa yang ‘Tidak Berkecenderungan’ sukar untuk dilihat, kebenaran tidak mudah untuk dilihat” (Pali: Duddasaṃ anataṃ nāma, na hi saccaṃ sudassanaṃ).[3]

Agar dapat diketahui, dipahami oleh banyak orang maka kebenaran membutuhkan pengungkapan oleh mereka yang telah mengetahui atau memahamnya. Kebenaran dapat diungkapkan dengan cara komunikasi, namun tidak semua dapat diungkapkan dengan cara yang sama. Pengungkapan kebenaran dapat dilakukan melalui komunikasi secara verbal (lisan yaitu menggunakan kata-kata, kosa kata dalam pembicaraan)  atau secara nonverbal (tidak menggunakan kata-kata, yaitu seperti ekspresi wajah, gerak tubuh, gambar, dll.).[4]

Namun, tidak semua kebenaran dapat diungkapkan secara menyeluruh dan sempurna dengan komunikasi tersebut karena keterbatasan yang ada pada komunikasi itu sendiri. Mengatasi hal ini adalah dengan pengalaman langsung. Sebagai contoh: seseorang akan mendapatkan kesulitan mengungkapkan kebenaran mengenai rasa buah manggis kepada seseorang yang belum pernah sama sekali merasakan buah itu. Berbagai pertanyaan akan muncul: “Apakah manggis itu manis? Jika manis, apakah sama dengan manisnya semangka? Jika asam, apakah sama dengan asamnya jeruk?” dan sebagainya. Jawaban dari semua pertanyaan ini tidak dapat mewakili rasa sesungguhnya dari buah manggis. Satu-satunya cara terbaik adalah membuat orang tersebut mengalami rasa buah manggis itu sendiri dengan cara memberi buah manggis untuk dimakannya, sehingga orang itu tahu bahwa seperti itulah rasa buah manggis.

Dua Cara Penguraian Kebenaran

Ada yang mengatakan bahwa ada dua jenis kebenaran dalam Agama Buddha, yaitu kebenaran relatif/umum dan kebenaran absolut. Namun hal ini tidak tepat karena seperti yang telah disampaikan bahwa kebenaran itu hanya satu. Alih-alih disebut sebagai dua jenis kebenaran, kedua hal tersebut merupakan dua cara penguraian dalam mengungkapkan kebenaran.

Dalam Agama Buddha, ada 2 cara penguraian dalam mengungkapkan kebenaran, yaitu: umum dan absolut.

Penguraian bersifat umum adalah penguraian dengan menggunakan istilah-istilah umum sehari-hari yang sesuai dengan kesepakatan dan sifatnya relatif. Penguraian bersifat absolut adalah penguraian dengan menggunakan istilah-istilah khusus yang sifatnya absolut atau mutlak.

Kebenaran Relatif/Umum

Kebenaran yang diungkap dengan penguraian yang bersifat umum/relatif disebut dengan Kebenaran Relatif/Umum (Pali: Sammuti-sacca; Skt: Sammati-satya; “kebenaran umum”). Kebenaran Relatif ini memiliki kriteria yaitu: harus benar (apa adanya) namun masih terikat dengan waktu dan tempat (hanya berlaku di tempat tertentu dan waktu tertentu.).

Sebagai contoh Kebenaran Relatif: “awan berwarna putih”, pernyataan ini benar (apa adanya), namun tidak selamanya benar karena pada waktu sore hari awan bisa berwarna jingga ketika terkena sinar matahari sore. Contoh lain: “dalam satu hari lamanya siang sama dengan malam hari”, pernyataan ini benar (apa adanya) namun tidak selamanya, karena di tempat-tempat dan waktu tertentu seperti di Alaska di musim panas, siang dan malam memiliki perbedaan waktu yang mencolok.

Kebenaran Absolut/Mutlak

Sedangkan kebenaran yang diungkap dengan penguraian yang bersifat absolut disebut dengan Kebenaran Absolut/Mutlak (Pali: Paramattha-sacca; Skt: Paramārtha-satya; “kebenaran tertinggi”). Kebenaran Absolut/Mutlak atau Tertinggi ini memiliki kriteria yaitu: harus benar (apa adanya), tidak terikat oleh waktu (masa dulu, sekarang dan yang akan datang, kebenaran ini tetap ada dan tidak berubah), tidak terikat oleh tempat (baik di suatu tempat atau di tempat lain, di Indonesia atau di planet Mars, kebenaran ini ada dan tidak berubah ataupun berbeda).

Sebagai contoh Kebenaran Absolut: “semua manusia pasti akan mati”, pernyataan ini benar (apa adanya) dan kapan pun dan di mana pun hal ini pasti berlaku.

Untuk mengungkapkan dan membabarkan kebenaran yang juga dikenal sebagai Dhamma (Skt: Dharma), Sri Buddha menggunakan 2 jenis penguraian tersebut dalam khotbah-khotbah-Nya agar dapat dipahami banyak orang tanpa mengurangi makna dan tujuan dari pengungkapan kebenaran tersebut.

Sebagai contoh. Dalam Uposatha Sutta[5], Sri Buddha menyampaikan sebuah perumpamaan berupa cara membersihkan badan yang kotor

“Dan bagaimanakah, Visākhā, seseorang membersihkan badan yang kotor melalui usaha? Dengan menggunakan sikat mandi, bubuk lemon, air, dan usaha tepat oleh orang tersebut. Adalah dengan cara ini badan seseorang, ketika kotor, dibersihkan melalui usaha.” – Suatu kebenaran bahwa membersihkan badan bisa dengan sikat mandi, pati lemon, dan air, tapi di tempat lain, di kebudayaan lain dan di waktu yang berbeda bubuk lemon bisa digantikan dengan sabun. Oleh karena itu apa yang disampaikan-Nya ini merupakan Kebenaran Relatif.

Sedangkan dalam Anicca Sutta[6], Sri Buddha menyampaikan, “Para bhikkhu, bentuk adalah tidak kekal, perasaan adalah tidak kekal …” – Suatu kebenaran bahwa bentuk dan perasaan adalah tidak kekal, di mana pun dan kapan pun. Karena itu, apa yang disampaikan-Nya ini merupakan Kebenaran Absolut. Dan Kebenaran Absolut lainnya yang sangat penting yang disampaikan Sri Buddha adalah Empat Kebenaran Arya (Mulia).

Beberapa kebenaran bisa merupakan sebagian dari bentuk utuhnya, sedangkan kebenaran yang lainnya tidak. Dengan hanya melihat sebagian dari bentuk kebenaran, seseorang justru tidak melihat ataupun memahami kebenaran yang sesungguhnya, sehingga ia mengambil sikap yang keliru. Sebagai contoh: dikatakan bahwa gajah adalah hewan yang berbelalai, perkataan ini merupakan suatu kebenaran, namun ini hanya sebagian dari bentuk utuh seekor gajah. Tanpa memahami keseluruhan kebenaran mengenai gajah, seseorang bisa saja menganggap seekor tapir yang juga memiliki belalai sebagai gajah. Karena itu sangatlah penting untuk mengungkap atau melihat kebenaran secara menyeluruh.

Manfaat Kebenaran

Sri Buddha menekankan pentingnya kebenaran termasuk dalam ucapan atau pernyataan. Selain sebagai jalan yang berujung pada Kebebasan Tertinggi, kebenaran juga dapat menjadi pelindung dari kondisi-kondisi sulit dan menciptakan kondisi-kondisi kehidupan yang baik.

Salah satu contoh manfaat dari kebenaran diuraikan dalam Kula Sutta[7]. Dalam sutta tersebut Sri Buddha menjelaskan kepada Asibandhakaputta, seorang kepala desa, bahwa kebenaran yang praktikkan pada kehidupan lampau dapat mengondisikan seseorang untuk hidup dalam kekayaan di kehidupan ini. “Keluarga mana pun yang sekarang kaya dengan kekayaan yang besar,  harta milik yang besar, berlimpah emas dan perak, berlimpah prasarana,  berlimpah gandum[8], semuanya dari hasil berdana, hasil kebenaran, dan hasil pengendalian diri.”

Berbagai kisah dalam Jātaka (Kisah Kelahiran) tidak sedikit yang mengisahkan tentang kekuatan dari pernyataan kebenaran yang dinyatakan secara sungguh-sungguh oleh Bodhisatta (Skt: Bodhisattva – Calon Buddha) yang mampu memunculkan keajaiban-keajaiban. Begitu pula sejumlah teks-teks paritta (perlindungan) seperti Aṅgulimāla Paritta dan Bojjhaṅgā Paritta, mengedepankan pernyataan kebenaran sebagai pelindung.

– Selesai –

[1] Kamus Besar Bahasa Indonesia Dalam Jaringan Edisi Ketiga, Pusat Bahasa  Departemen Pendidikan Nasional, 2008.
[2] Cūḷabyūha Sutta (Cūḷaviyūha Sutta), Khuddaka Nikāya: Sutta Nipāta 4.12 (Sutta Nipāta: Aṭṭhakavagga 12.7 {Sutta Nipāta 884-900 (890)} versi Chaṭṭha Saṅgāyana CD-ROM – CSCD), Kanon Tipitaka Pali.
[3] Dutiya Nibbāna Sutta, Khuddaka Nikāya: Udāna 8.2 (Udāna: Pāṭaligāmiyavagga 2 {Udāna 72} versi Chaṭṭha Saṅgāyana CD-ROM – CSCD), Kanon Tipitaka Pali.
[4] Sadhana Gupta, Communication Skills and Functional Grammar, University Science Press, New Delhi, 2008, hlm. 104-105.
[5] Uposatha Sutta (Muluposatha Sutta), Aṅguttara Nikāya 3.70 (Aṅguttara Nikāya: Tikanipāta: Mahāvagga 10 {Tikanipāta 71} versi Chaṭṭha Saṅgāyana CD-ROM – CSCD), Kanon Tipitaka Pali.
[6] Anicca Sutta, Saṃyutta Nikāya 22.12 (Saṃyutta Nikāya: Khandhavagga: Khandhasaṃyutta: Aniccavagga 1 {Khandhavagga 12} versi Chaṭṭha Saṅgāyana CD-ROM – CSCD), Kanon Tipitaka Pali.
[7] Kula Sutta, Saṃyutta Nikāya 42.9 (Saṃyutta Nikāya: Saḷāyatanavagga: Gāmaṇisaṃyutta 9 {Saḷāyatanavagga 361 } versi Chaṭṭha Saṅgāyana CD-ROM – CSCD), Kanon Tipitaka Pali.
[8] dhaññā berarti “gandum”; “jagung” atau keberuntungan (A.P. Buddhadatta Mahathera, Concise Pali-English and English-Pali Dictionary).

Disusun oleh: Bhagavant.com

REKOMENDASIKAN: