Ehipassiko – Datang dan Lihatlah
Ehipassiko adalah sebuah istilah berupa ajakan atau undangan kepada semua orang untuk datang dan melihat; menunjukkan sifat keterbukaan bagi semua.[1] Secara umum, ehipassiko adalah ajakan atau undangan kepada semua orang tanpa kecuali untuk datang dan melihat, melakukan verifikasi atau pemeriksaan atau penyelidikan terhadap suatu hal untuk mendapatkan bukti, daripada hanya sekadar percaya begitu saja.
Secara khusus, ehipassiko adalah ajakan atau undangan kepada semua orang tanpa kecuali untuk datang dan melihat, melakukan verifikasi atau pemeriksaan atau penyelidikan oleh diri sendiri terhadap Dhamma (Skt: Dharma, “Kebenaran”) yang diajarkan oleh Sri Buddha[2], daripada langsung percaya begitu saja hanya berdasarkan pemberitaan, perkataan orang lain, desas-desus, dan lain sebagainya.
Kata ehipassiko berasal dari kata dalam bahasa Pali yaitu ehipassika (Skt: ehipaśyika) yang terdiri dari 3 suku kata yaitu ehi (datang), passa (lihat) dan ika (sufiks/akhiran) Secara harfiah ”ehipassika” berarti datang dan lihat.[3] Secara singkat ehipassiko juga bisa berarti “mengundang untuk dilihat”, dengan pengertian “dilihat” sebagai tindakan verifikasi atau pemeriksaan atau penyelidikan.
Dalam beberapa khotbah-Nya, di antaranya Dhajagga Sutta, Muluposatha Sutta, dan Mahanama Sutta, Sri Buddha menyampaikan tentang Dhammānussati (Skt: Dharmānusmrti, “Perenungan terhadap Dhamma”) yang isinya mengenai sifat-sifat dari Dhamma yang diajarkan-Nya. Dua dari sifat Dhamma tersebut adalah “ehipassiko” (mengundang untuk dilihat atau diverifikasi) dan “paccattaṃ veditabbo viññūhī” (dipahami secara pribadi oleh para bijaksana).
“Dhamma yang telah dinyatakan sendiri (dengan sempurna) oleh Sri Bhagavā, terlihat di sini dan saat ini, tidak bergantung pada waktu, mengundang untuk dilihat, mengarah menuju kemajuan, dipahami secara pribadi oleh para bijaksana.” (Pali: svākkhāto bhagavatā dhammo sandiṭṭhiko akāliko ehipassiko opanayiko paccattaṃ veditabbo viññūhī’ti)[4]
Sifat “ehipassiko” menunjukkan bahwa Dhamma mengundang untuk dilihat atau diverifikasi (diperiksa) untuk mendapatkan konfirmasi kebenarannya oleh diri sendiri. Sedangkan sifat “paccattaṃ veditabbo viññūhī” menunjukkan bahwa Dhamma bersifat personal, bisa dipahami, ditembus, direalisasikan hanya oleh diri sendiri, dan ini membutuhkan “kecerdasan” dan penyelidikan yang berkelanjutan.
Sifat keterbukaan dari Dhamma juga disampaikan oleh Sri Buddha dalam Alagaddūpama Sutta[5] yang menyatakan, “Para bhikkhu, demikianlah Dhamma yang telah dinyatakan sendiri (dengan sempurna) oleh-Ku tersebut adalah jelas, terbuka, nyata, dan bebas dari tambal sulam.” (Pali: ‘‘Evaṃ svākkhāto, bhikkhave, mayā dhammo uttāno vivaṭo pakāsito chinnapilotiko.“).[6]
Semenjak penyelidikan, pemeriksaan terhadap Dhamma (Pali: Dhamma vicaya; Skt: Dharma vicaya) merupakan salah satu dari tujuh faktor Pencerahan[7], Sri Buddha menasihatkan para siswa-Nya untuk menerapkan sikap ehipassiko di dalam menerima ajaran-Nya, mengikuti diri-Nya berdasarkan pada pemahaman bukan dari ketaatan atau kepercayaan membuta. Sri Buddha mengajarkan untuk ”datang dan lihatlah (verifikasi)” ajaran-Nya, bukan ”datang dan percaya”.
Prinsip ehipassiko ini menjadi salah satu ajaran yang membedakan antara ajaran Buddha dengan ajaran lainnya. Salah satu sikap dari Sri Buddha yang mengajarkan ehipassiko dan memberikan kebebasan berpikir dalam menerima suatu ajaran terdapat dalam perbincangan antara diri-Nya dengan suku Kalama berikut ini:
“Wahai, suku Kalama. Jangan begitu saja mengikuti tradisi lisan, ajaran turun-temurun, kata orang, koleksi kitab suci, penalaran logis, penalaran lewat kesimpulan, perenungan tentang alasan, penerimaan pandangan setelah mempertimbangkannya, pembicara yang kelihatannya meyakinkan, atau karena kalian berpikir, `Petapa itu adalah guru kami. `Tetapi setelah kalian mengetahui sendiri, `Hal-hal ini adalah bermanfaat, hal-hal ini tidak tercela; hal-hal ini dipuji oleh para bijaksana; hal-hal ini, jika dilaksanakan dan dipraktekkan, menuju kesejahteraan dan kebahagiaan`, maka sudah selayaknya kalian menerimanya.”[8]
Prinsip untuk tidak percaya begitu saja dengan mempertanyakan apakah suatu ajaran itu adalah bermanfaat atau tidak, tercela atau tidak tecela; dipuji oleh para bijaksana atau tidak, jika dilaksanakan dan dipraktekkan, menuju kesejahteraan dan kebahagiaan atau tidak, adalah suatu sikap yang akan menepis kepercayaan yang membuta terhadap suatu ajaran.
Prinsip ehipassiko yang mengedepankan verifikasi atau pemeriksaan atau penyelidikan oleh diri sendiri, memicu seseorang untuk berpikir kritis dan juga memiliki kemantapan yang lebih baik dalam menerima kebenaran karena ia telah melihat, mengalami, menyaksikannya dengan mata kepala sendiri, dibandingkan dengan orang yang tidak menerapkan prinsip ini dan hanya berdasarkan pada rasa percaya.
Setelah seseorang menerima kebenaran dari hasil verifikasi atau pemeriksaan atau penyelidikan oleh diri sendiri secara kritis, maka muncullah saddhā (Skt: śraddhā) yaitu keyakinan berdasarkan pengetahuan dari hasil verifikasi atau pemeriksaan atau penyelidikan. Dan saddhā ini menjadi sarana awal yang penting untuk pengembangan batin selanjutnya.
Prinsip ehipassiko sering diartikan sebagai ”datang dan buktikan sendiri” sehingga sebagian orang secara kurang bijak beranggapan bahwa segala sesuatu harus dibuktikan oleh diri sendiri sebelum ia menerimanya sebagai kebenaran dengan cara menjadikan dirinya sebagai objek percobaan.
Sebagai contoh, ketika seseorang ingin membuktikan bahwa penyalahgunaan narkotika dan obat/bahan berbahaya (narkoba) itu merugikan dan merusak, bukan berarti orang tersebut harus terlebih dulu menggunakan narkoba tersebut. Sikap ini adalah sikap yang keliru dalam menerapkan prinsip ehipassiko. Untuk membuktikan bahwa menggunakan narkoba itu merugikan dan merusak, seseorang cukup melihat orang lain yang telah menjadi korban karena menggunakan narkoba. Berkali-kali melihat dan menyaksikan sendiri orang lain mengalami penderitaan karena penggunaan narkoba, itu pun merupakan suatu pengalaman, suatu bentuk verifikasi untuk mendapatkan pembuktian.
Dengan hasil berupa muculnya saddhā sebagai keyakinan berdasarkan pengetahuan dari hasil verifikasi atau pemeriksaan atau penyelidikan, prinsip ehipassiko menjadi langkah awal bagi umat awam untuk memahami ajaran Agama Buddha lebih lanjut.
– Selesai –
Catatan:
[1] A.P. Buddhadatta Mahathera, Concise Pali-English and English-Pali Dictionary.
[2] sri: p (gelar kehormatan bagi raja atau orang besar dsb) yg mulia. Kamus Besar Bahasa Indonesia Dalam Jaringan Edisi Ketiga, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008.
[3] Liaowen Can, Pali-Chinese Dictionary, Douliu, Taiwan. (巴漢辭典 編者:(斗六) 廖文燦)
[4] Dhajagga Sutta, Saṃyutta Nikāya 11.3 (Saṃyutta Nikāya: Sagāthāvagga 11.1.3 {Sagāthāvagga 249} versi Chaṭṭha Saṅgāyana CD-ROM – CSCD), Kanon Tipitaka Pali.
[5] Alagaddūpama Sutta, Majjhima Nikāya 22 (Majjhima Nikāya: Mūlapaṇṇāsa 3.2 {Mūlapaṇṇāsa 234-248} versi Chaṭṭha Saṅgāyana CD-ROM – CSCD), Kanon Tipitaka Pali.
[6] chinnapilotiko (chinna-pilotika), pilotika adalah kain usang yang ditambal sulam dengan perca. Dhamma terbebas dari tambal sulam seperti layaknya kain baru, ini berarti bahwa Dhamma bersifat konsisten (tidak berubah-ubah/diubah) dan utuh yang tidak membutuhkan tambalan apa pun untuk menutupi ketidakkonsistenan. Singkatnya Dhamma bersifat konsisten.
[7] Tujuh Faktor Pencerahan (Pali: satta bojjhaṅgā, Skt: sapta bodhyanga) merupakan 7 hal yang harus dimiliki dalam pencapaian Pencerahan, yaitu: perhatian penuh (Pali: sati, Skt: smṛti); penyelidikan, pemeriksaan dhamma (Pali: dhamma vicaya, Skt: dharma vicaya); kegigihan/keuletan (Pali: viriya, Skt: vīrya); kesenangan/kegirangan (Pali: pīti, Skt: prīti); ketenangan (Pali: passaddhi, Skt: prasrabhi); konsentrasi (Pali, Skt: samādhi); keseimbangan (Pali: upekkhā, Skt: upēkṣā).
[8] Kalama Sutta (Kesamutti Sutta), Anguttara Nikāya 3.65 (Anguttara Nikāya 3.5 {Tikanipāta 66} versi Chaṭṭha Saṅgāyana CD-ROM – CSCD ), Kanon Tipitaka Pali.
Disusun oleh: Bhagavant.com