Sejarah Hari Buddhis Internasional
Setiap tanggal 8 April, umat Buddha di dunia memperingat Hari Buddhis Internasional. Lalu apa itu Hari Buddhis Internasional? Apa latar belakang sejarah terbentuknya Hari Buddhis Internasional? Dan apa yang dirayakan dalam peringatan hari itu? Berikut sejarah singkatnya.
Latar Belakang Tradisi
Agama Buddha merupakan salah satu agama dunia yang memiliki jutaan pengikut di seluruh dunia. Dengan jumlah penganut sekitar 506 juta orang, Agama Buddha menjadi keyakinan terbesar ke-5 (ke-4 jika kelompok sekuler/nonreligius/agnostik/ateis tidak dikategoriakan sebagai agama) di dunia.[1]
Dan dalam sejarah perkembangannya, Agama Buddha yang berdasarkan pada ajaran Buddha Gautama tidak luput dari perbedaan penafsiran, sehingga muncul beberapa tradisi (aliran). Tiga tradisi besar utama yang masih bertahan sampai sekarang adalah tradisi Theravada, Mahayana, dan Vajrayana.
Salah satu penafsiran yang berbeda dalam Agama Buddha adalah mengenai hari kelahiran Bodhisattva Siddhartha Gautama – yang kemudian menjadi Buddha Gautama (Buddha Sakyamuni).
Bagi umat Buddhis tradisi Mahayana di Asia Timur khususnya yang menggunakan kalender lunar (Imlek), Bodhisattva Siddhartha Gautama dilahirkan pada hari kedelapan dari bulan keempat (sekitar bulan Mei). Hingga sekarang belum jelas mengapa hari kedelapan alih-alih hari kelima belas saat Bulan Purnama sebagai hari kelahiran Bodhisattva.
Sejumlah cendekiawan berpendapat bahwa hari kedelapan tersebut kemungkinan terkait dengan delapan benda simbol berkah (Pali: aṭṭhamaṅgala; Skt: aṣṭamaṅgala) yang diberikan oleh para dewa saat Beliau mencapai Pencerahan.
Ada pula yang mengaitkannya dengan Jalan Arya Berunsur Delapan atau Jalan Mulia Beruas Delapan (Pali: ariyo aṭṭhaṅgiko maggo; Skt: ārya aṣṭāṅga mārga).
Beberapa sumber juga mengatakan bahwa tanggal tersebut dipilih karena pada saat itu bunga teratai mekar, yang dianggap melambangkan kesucian, kebijaksanaan, dan keberuntungan.
Selain itu, ada yang berpendapat bahwa dalam budaya Tiongkok, angka delapan dianggap sebagai angka keberuntungan dan keberhasilan, karena dalam bahasa Tionghoa, pelafalan angka delapan terdengar mirip dengan kata ‘untung’ (发财).
Dan perlu dicatat bahwa dalam tradisi Buddhis Mahayana Tiongkok, hari yang disebut dengan Hari Kelahiran Buddha (Fú dàn jié – 佛诞节) tersebut hanya merupakan hari kelahiran, tidak termasuk hari pencerahan, dan parinirvana karena dipercaya jatuh pada hari yang berbeda.
Adanya pengaruh dan adaptasi penanggalan Gregorian (Masehi) yang banyak digunakan di dunia barat, sejumlah negara, khususnya Jepang mengonversi penanggalan lunar menjadi penanggalan Gregorian. Tujuan pengalihan hari ini adalah untuk memudahkan merencanakan dan mengatur acara. Sehingga, ditetapkannyalah tanggal 8 April sebagai hari kelahiran Bodhisattva Siddhartha Gautama.
Namun tidak semua umat Buddhis Mahayana di Asia Timur beralih menggunakan penanggalan Gregorian seperti yang ditetapkan secara nasional di Jepang.
Dalam masyarakat Buddhis di Jepang, hari kelahiran Bodhisattva Siddhartha Gautama secara resmi jatuh setiap tanggal 8 April dan disebut sebagai Kanbutsue (hari kelahiran Buddha) dan dirayakan sebagai festival Hana Matsuri (Festival Bunga).
Dan konversi penanggalan tersebut tentu saja membuat perbedaan yang baru lagi dengan tradisi Buddhis lain, dan akhirnya tetap menjadi sesuatu yang mengganjal khususnya untuk persatuan umat Buddha di dunia, meskipun sebuah kompromi pertama telah dilakukan dalam forum Persaudaraan Buddhis Sedunia (World Fellowship of Buddhists – WFB) tahun 1950 mengenai penetapan Hari Vesak sebagai hari kelahiran Bodhisattva Siddhartha Gautama, Pencerahan Agung Petapa Gautama, dan parinirvana Buddha Gautama.
KTT Buddhis, Konferensi Agung Buddhis Sedunia
Pada 4-8 April 1998, sebuah pertemuan tiga tradisi besar utama diselenggarakan oleh Maha Bodhi Society of India di Kyoto International Conference Center, Jepang, dengan tujuan utama untuk berkompromi dan bergandengan tangan dengan kembali ke ajaran asli Sri Buddha serta mengatasi hambatan di antara negara dan denominasi (kelompok keagamaan).[2]
Pertemuan tersebut dihadiri oleh Y.M. Somdet Phra Nyanasamvara, Sangharaja Thailand; Y.M. Dr. Mapalagama Wipulasara, Presiden Maha Bodhi Society of India; Y.M. Tenzin Gyatzo, Dalai Lama ke-14; Pandita Kyuse Enshinjoh, Pendiri Komunitas Pandita Tinggi Nenbutsushu; dan delegasi dari 13 negara dan 1 wilayah. Konferensi ini kemudian disebut sebagai Konferensi Tingkat Tinggi Buddhis, Konferensi Agung Buddhis Sedunia Ke-1 (First Buddhist Summit, World Buddhist Supreme Conference – WBSC).
Dalam perjalanannya, pada KTT Buddhis WBSC Ke-6 yang diselenggarakan pada 8-13 Desember 2014 di Royal Grand Hall of Buddhism, vihara utama tradisi Nenbutsushu, di Hyogo, Jepang, dan dihadiri oleh delegasi dari 41 negara dari 5 benua, dengan suara bulat memutuskan untuk menetapkan tanggal 8 April sebagai Hari Buddhis Internasional (International Buddhist Day). Keputusan tersebut tertuang dalam Komunike Bersama Konferensi Tingkat Tinggi Buddhis, Konferensi Agung Buddhis Sedunia Keenam (Joint Communiqué The Sixth Buddhist Summit World Buddhist Supreme Conference) 11 Desember 2014.
Dan dalam KTT Buddhis WBSC Ke-7 pada 2-7 November 2017 di Colombo, Sri Lanka, para para pemimpin Buddhis dari 47 negara di dunia dengan suara bulat memutuskan untuk mempromosikan Hari Buddhis Internasional sebagai hari raya umum bagi semua umat Buddha di dunia, untuk perdamaian dunia dan kebahagiaan umat manusia.
Kompromi
Ada beberapa faktor dari diambilnya keputusan untuk menetapkan 8 April sebagai Hari Buddhis Internasional (International Buddhist Day).
Pertama, seperti yang disampaikan di awal, 8 April secara tradisional diperingati sebagai hari kelahiran Bodhisattva Siddhartha Gautama oleh umat Buddha tradisi Mahayana, termasuk Tiongkok, Jepang, Korea, dan Vietnam. Oleh karena itu, 8 April memiliki makna agama dan budaya yang signifikan bagi umat Buddha di kawasan Asia Timur yang jumlahnya tidak sedikit tersebut.
Kedua, KTT berharap penetapan Hari Buddhis Internasional yang diakui secara global akan memberikan kesempatan bagi umat Buddha di seluruh dunia untuk berkumpul bersama dan merayakan keyakinan dan nilai-nilai mereka yang sama.
Dari sini dapat dikatakan bahwa penentuan tanggal 8 April sebagai Hari Buddhis Internasional merupakan bentuk upaya kompromi dalam mengakomodasi tradisi Buddhis terkait hari kelahiran Bodhisattva Siddhartha Gautama yang diyakini oleh sebagian umat Buddha, tanpa menafikan atau menolak kesepakatan bersama mengenai Hari Vesak (Waisak) yang telah ditetapkan oleh Persaudaraan Buddhis Sedunia (World Fellowship of Buddhists – WFB) tahun 1950.
Dengan demikian, Hari Buddhis Internasional adalah hari raya bagi umat Buddha di seluruh dunia untuk memperingati masa adven Buddha (kedatangan Buddha), dan hari persatuan umat Buddha di seluruh dunia untuk perdamaian dunia dan kebahagiaan umat manusia.
Bendera Hari Buddhis Internasional
Penetapan Hari Buddhis Internasional juga diikuti dengan penetapan bendera Hari Buddhis Internasional. Dalam desainnya, bendera Hari Buddhis Internasional memadukan bendera Buddhis internasional dengan bendera Buddhis tradisional Jepang yang dikenal dengan nama goshikimaku (五色幕; harfiah: tirai lima warna).
Pada salah satu sisi bendera Hari Buddhis Internasional terdapat susunan warna yang sama dengan bendera Buddhis internasional dengan lima warna (biru indigo, kuning, merah, putih, dan jingga).
Sedangkan pada sisi satunya lagi terdapat warna hijau yang diambil dari salah satu warna dari bendera Buddhis tradisional Jepang, goshikimaku. Warna hijau pada goshikimaku melambangkan dedikasi pada prinsip-prinsip etika, yang merupakan salah satu dari delapan prinsip ajaran Buddha yang dikenal sebagai “Astasila.” Prinsip etika ini menekankan pentingnya tindakan yang baik dan perilaku yang benar dalam kehidupan sehari-hari, termasuk penghormatan terhadap orang lain dan menjaga lingkungan hidup.
Pada sisi bendera yang berwarna hijau terdapat gambar Roda Dharma berwarna putih dengan gambar kepala gajah yang juga berwarna putih.
Gambar kepala gajah putih merupakan simbol dari Bodhisattva Siddhartha Gautama yang diambil dari kisah Ratu Maha Maya yang bermimpi melihat gajah putih yang memasuki rahimnya saat hendak mengandung Bodhisattva Siddhartha Gautama.
Bendera Hari Buddhis Internasional diharapkan menjadi simbol kedua sebagai pemersatu antar umat Buddha di seluruh dunia.
Ritual
Dengan latar belakang tradisi keagamaan, perayaan Hari Buddhis Internasional tidak lepas dengan ritual keagamaan, khususnya yang terkait dengan peringatan hari kelahiran Bodhisattva Siddhartha Gautama.
Selain puja bakti di vihara dan seremonial yang menjadi bagian dari rangkaian Hari Buddhis Internasional, juga diadakannya ritual memandikan rupaka Bayi Pangeran Siddhartha (Mandarin: yifo – 浴佛; Jepang: kanbutsu-e – 灌仏会) dan ritual abhiseka (Mandarin: guàndǐng – 灌顶; Jepang: kanjō – 勧請), sebuah proses pengurapan air suci ke kepala.
Pengibaran bendera Hari Buddhis Internasional juga menjadi salah satu tradsi yang dilakukan dalam seremoni Hari Buddhis Internasional.
Terlepas dari ritual yang ada sebagai simbol penghormatan dan penerimaan ajaran Buddha, Hari Buddhis Internasional adalah hari untuk merayakan, menjalin dan memperkuat persaudaraan di antara umat Buddha di dunia.
– Selesai –
Catatan:
[1] Pew Research Center’s Religion & Public Life Project. The Future of World Religions: Population Growth Projections, 2010-2050.
[2] Situs web buddhist-summit.com.