Kehidupan Petapa Gotama
Setelah memutuskan untuk meninggalkan keduniawian dan menjadi seorang petapa, Siddhattha Gotama tinggal di Anupiya-ambavana, sebuah hutan mangga (Pali: amba; Sanskerta: āmra; Latin: Magnifera indica) di dekat Kota Anupiyā, tidak jauh dari Sungai Anomā selama tujuh hari pertama. Kemudian pada hari kedelapan Ia pergi sejauh tiga puluh yojana menuju ke Rājagaha (Sanskerta: Rājagṛha), ibu kota Kerajaan Magadha, di India Utara[1]. Di Rājagaha, Ia menolak tawaran Raja Bimbisāra[2] yang akan memberikan separuh kekuasaannya setelah mengetahui identitas Siddhattha Gotama yang merupakan seorang pangeran.
DUA ORANG GURU
Kemudian Petapa Gotama melanjutkan perjalanan-Nya dengan menuruni Bukit Pandava (Pali: Paṇḍava-pabbata; Sanskerta: Pāṇḍavaḥ-parvata) dan menuju ke Kota Vesāli[3], ibu kota negara Konfederasi Vajjī[4], salah satu negara dari 16 Mahājanapada (Negara Besar)[5]. Saat itu Vesāli merupakan tempat tinggal seorang guru agama terkemuka bernama Āḷāra Kālāma (Sanskerta: Ārāḍa Kālāma) bersama dengan para siswanya. Āḷāra Kālāma diyakini telah mencapai beberapa tingkat pencapaian spiritual dari meditasi hingga pada tingkatan konsentrasi yang tinggi yang disebut Jhāna Tataran Kekosongan (Pali: ākiñcaññāyatana jhāna; Sanskerta: ākiṃcanyāyatana dhyāna)[6]. Petapa Gotama memutuskan menjalani hidup suci dengan bergabung dalam persamuhan Āḷāra Kālāma.
Dalam waktu singkat karena memiliki kepandaian yang luar biasa, Petapa Gotama telah mampu menguasai ilmu yang diajarkan oleh Āḷāra Kālāma bahkan mencapai pencapaian yang sama dengan guru-Nya itu. Mendengar hal tersebut Āḷāra Kālāma berniat menyerahkan setengah pengikutnya kepada petapa Gotama. Namun setelah merenungkan sifat dan manfaat dari pencapaian-Nya ini, Ia menyimpulkan bahwa ajaran yang Ia praktikkan tersebut tidaklah membawa pada Pembebasan Sejati. Oleh karena itu Ia mohon pamit kepada guru-Nya untuk melanjutkan pencariannya atas jawaban terhadap persoalan hidup dan mati, usia tua, dan penyakit, yang senantiasa dipikirkan-Nya.
Petapa Gotama segera meninggalkan Vesāli dan berjalan menuju negara Magadha. Ia menyeberangi Sungai Mahī, dan sejenak kemudian sampai di sebuah pertapaan lain di tepi sungai itu. Pertapaan itu dipimpin oleh seorang guru agama yang sangat dihormati bernama Uddaka Rāmaputta (Uddaka, putra Rāma). Kemudian Petapa Gotama pun bergabung dan menjadi siswa dari Uddaka Rāmaputta. Dalam waktu yang singkat pula, Petapa Gotama mampu menguasai ilmu dan mencapai hasil yang diajarkan oleh Uddaka Rāmaputta.
Setelah itu Uddaka Rāmaputta pun akhirnya mengajarkan Petapa Gotama ajaran dari Rāma, mendiang ayahnya yang telah mencapai Jhāna Tataran Bukan Pencerapan Maupun Bukan Tanpa-Pencerapan (Pali: nevasaññānāsaññāyatana jhāna; Sanskerta: naivasaṃjñānāsaṃjñāyatana dhyāna)[7] sebagai hasil praktik meditasinya tersebut. Saat itu Uddaka Rāmaputta sendiri belum mencapai tahap konsentrasi dari hasil praktik ajaran mendiang ayahnya tersebut, ia hanya memiliki pengetahuan teori dari praktik yang diwariskan kepadanya.
Dengan keteguhan, ketekunan, konsentrasi dan perhatian murni, Petapa Gotama mempraktikkan teknik meditasi yang diajarkan oleh gurunya tersebut hingga dengan segera Ia berhasil mencapai tingkatan Jhāna Tataran Bukan Pencerapan Maupun Bukan Tanpa-Pencerapan. Mendengar pencapaian siswanya tersebut, Uddaka Rāmaputta merasa gembira dan memberikan penghormatan kepada Petapa Gotama dengan meminta-Nya untuk memimpin dan menjadi guru dari semua siswa di pertapaannya tersebut termasuk dirinya. Naumn, setelah merenungkan sifat dan manfaat dari pencapaian-Nya tersebut, Ia menyimpulkan bahwa ajaran yang Ia praktikkan tersebut tidaklah membawa pada Pembebasan Sejati. Petapa Gotama akhirnya meninggalkan pertapaan Uddaka Rāmaputta.
MENJALANI PRAKTIK PERTAPAAN KERAS
Setelah meninggalkan pertapaan Uddaka Rāmaputta, Petapa Gotama menuju ke Senā-nigāma (kota niaga Senā)[8] di Uruvelā dan memutuskan untuk menetap di Hutan Uruvelā yang berada tidak jauh dari kota niaga tersebut. Selama tinggal di sana, Petapa Gotama pernah dihinggapi oleh rasa takut dan ngeri yang dapat Ia taklukkan. Di sana pulalah Petapa Gotama bertemu dengan kelompok 5 orang petapa (Pali: pañcavaggiyā; Sanskerta: pañcavargya) yang bernama Koṇḍañña (Aññāta-Kondañña)[9], Bhaddiya, Vappa, Mahānāma, dan Assaji. Kelimanya menemani Petapa Gotama dengan harapan Ia segera menjadi Buddha.
Selama di Hutan Uruvelā, Petapa Gotama menjalankan latihan tapa yang paling berat (dukkaracariya), yang sulit dipratikkan oleh orang biasa. Ia menyatakan tekad usaha kuat beruas empat yang dikenal sebagai padhāna-viriya, sebagai berikut: “Biarlah hanya kulit-Ku yang tertinggal! Biarlah hanya urat daging-Ku yang tertinggal! Biarlah hanya tulang belulang-Ku yang tertinggal! Biarlah daging dan darah-Ku mengering!” Dengan tekad ini, Ia tak akan mundur sejenak pun, namun akan melakukan usaha sekuat tenaga dalam praktik itu.
Dalam praktik pertapaan yang keras tersebut, Petapa Gotama berlatih untuk mengurangi makan sedikit demi sedikit hingga tidak makan sama sekali. Karena melakukan hal tersebut, tubuh-Nya berangsur-angsur menjadi semakin kurus dan akhirnya hanya tinggal tulang belulang. Karena kurang makan, sendi-sendi dalam tubuh dan anggota tubuh-Nya menyembul seperti sendi rerumputan atau tanaman menjalar yang disebut āsītika dan kāḷa (Latin: Polygonum aviculare dan S. lacustris).
Enam tahun sudah Petapa Gotama menjalankan pertapaan yang keras dan tiba pada tahap kritis saat Ia berada di ambang kematian. Hingga suatu hari ketika berjalan-jalan, Ia pingsan dan terjerembab karena tubuh-Nya dilanda panas yang tak tertahankan dan karena kurang makan berhari-hari. Ketika itu, seorang anak laki-lagi pengembala yang kebetulan lewat di tempat terjatuhnya Petapa Gotama membangunkan-Nya dan anak gembala itu menyuapkan air susu kambing bagi-Nya.
MENCARI JALAN LAIN UNTUK MENCAPAI PENCERAHAN
Setelah mempraktikkan pertapaan keras selama enam tahun, pada suatu saat di hari pertama bulan mati, di bulan Vesākha, tahun 588 Sebelum Era Umum (528 SEU) atau tahun 45 Sebelum Era Buddhis (SEB), Petapa Gotama merenungkan bahwa Ia belum juga mencapai Pencerahan Sempurna, belum mencapai Pengetahuan Segala Sesuatu (sabbaññuta nāna). Saat merenungkan apakah ada cara lain untuk mencapai Pencerahan Sempurna, Ia teringat bahwa Beliau pernah mengembangkan dan mencapai Jhāna Pertama saat mempraktikkan ānāpāna bhāvanā ketika duduk di bawah keteduhan pohon jambul/jamblang (Latin: Eugenia Jambolana) sewaktu perayaan bajak tanah yang diselenggarakan oleh ayah-Nya, Raja Suddhodana.[10]
Setelah merenungkan manfaat dari ānāpāna bhāvanā (meditasi memperhatikan nafas), sejak saat itu Petapa Gotama meninggalkan praktik tapa keras dan selalu menuju ke Desa Senāni untuk menerima dana makanan serta makan setiap pagi guna memulihkan kondisi tubuhnya. Dengan demikian Ia bisa melanjutkan pencarian-Nya dengan menggunakan latihan pengembangan ānāpāna bhāvanā .
Melihat Petapa Gotama keluar dari praktik pertapaan keras dan mengubah cara latihan-Nya, kelima petapa, yang selama ini menemani dan melayani Petapa Gotama selama enam tahun dengan pengharapan yang tinggi, mulai meragukan-Nya dan berpikir Ia telah berhenti berjuang dan kembali menikmati kemewahan.
Setelah itu, kelima petapa meninggalkan-Nya dan menuju ke Taman Rusa (Pali: Migadāya, Sanskerta: Mrigadava), di Isipatana dekat Bārānasī (Benares; Varanasi). Setelah para petapa yang melayani-Nya tersebut meninggalkan diri-Nya, Petapa Gotama hidup menyendiri di Hutan Uruvelā. Ia berdiam dalam suasana yang sangat terpencil, hidup dalam kesunyian total yang mendukung tercapainya kemajuan yang luar biasa dalam pengembangan konsentrasi-Nya.
PERSEMBAHAN DANA MAKANAN DARI SUJĀTĀ
Pada hari kelima belas di bulan Vesākha, tahun 588 SEU (528 SEU) atau tahun 45 SEB, ketika fajar menyingsing, Petapa Gotama membersihkan tubuh-Nya, lalu pergi menuju ke sebatang pohon jawi (Pali: ajapāla nigrodha; Latin: Ficus benghalensis; banyan India). Ia duduk di bawah pohon itu sambil menunggu waktu untuk pergi menerima dana makanan.
Saat itu pula merupakan waktu bagi masyarakat setempat untuk memberikan penghormatan kepada para dewa, tidak terkecuali Sujātā, seorang dermawati, putri dari Senānī – seorang hartawan di kota itu, yang telah lama melakukan penghormatan kepada dewa penjaga pohon jawi karena telah terpenuhi harapannya untuk memiliki seorang putra.
Sujātā bangun pagi-pagi dan menanak sendiri nasi susu untuk persembahan. Saat menanak nasi susu, ia memerintahkan pembantu perempuannya, Puṇṇa, untuk membersihkan kaki pohon jawi tempat kediaman dewa penjaga yang selama ini ia berikan penghormatan dan persembahan.
Ketika tiba di pohon jawi yang dimaksud, Puṇṇa melihat Petapa Gotama yang sedang duduk menghadap ke timur, di kaki pohon tersebut. Dengan mengira Petapa Gotama sebagai dewa penjaga pohon yang telah datang, Puṇṇa bergegas pulang dan melaporkan hal itu kepada Sujātā. Mendengar berita tersebut Sujātā sangat bahagia. Ia menempatkan nasi susu yang telah ditanaknya ke dalam sebuah mangkuk emas yang kemudian ia bungkus dengan sehelai kain putih bersih, kemudian ia pergi bersama Puṇṇa menuju pohon jawi di mana Petapa Gotama duduk bermeditasi.
Melihat Petapa Gotama yang dianggapnya sebagai dewa penjaga pohon dengan wajah-Nya yang tampan dan tenang, hati Sujātā meluap gembira. Kemudian ia mendekati Petapa Gotama dengan hormat lalu duduk di tempat yang sesuai, menurunkan mangkuk emas dari kepalanya lalu membukanya dan mempersembahkan nasi susu dengan penuh bakti dan kebahagiaan kepada Petapa Gotama seraya mengungkapkan pengharapannya agar segala cita-cita Petapa Gotama juga terpenuhi seperti keinginannya memiliki putra yang juga telah terpenuhi. Petapa Gotama menerima mangkuk emas berisi nasi susu itu dari tangan Sujātā.
Sekali lagi, Sujātā memberi hormat kepada Petapa Gotama, bangkit dari duduknya, berjalan mundur beberapa langkah, lalu memutar badannya, dan pulang tanpa sedikitpun memikirkan mangkuk emas yang telah ia berikan kepada Petapa Gotama.
Petapa Gotama juga bangkit dari tempat duduk-Nya, membawa mangkuk emas berisi nasi susu tersebut, dan berjalan menuju ke tepi Sungai Nerañjarā. Ia meletakkan mangkuk itu, kemudian membersihkan diri di Arungan Suppatiṭṭhita. Setelah keluar dari arungan tersebut, Ia membawa mangkuk emas itu dan duduk di bawah naungan sebatang pohon. Mula-mula Ia membuat nasi susu itu menjadi empat puluh sembulan cuil dan merenungkan dengan berharap keempat puluh sembilan cuil nasi susu tersebut bisa menjadi zat makanan yang dapat menghidupi tubuh-Nya selama tujuh minggu penuh. Setelah itu, Ia mulai memakannya.
Seusai makan, Ia membawa mangkuk emas itu menuju sungai dan mengucapkan tekad-Nya menjadi Buddha. Ia kemudian mengapungkan mangkuk emas tersebut di Sungai Nerañjarā.
Catatan:
[1] Rājagaha, sekarang bernama Rajgir terletak di negara bagian Bihar di India Utara.
[2] Raja Bimbisāra (tradisi:628 SEU – 556 SEU; konsensus: 558 SEU – 491 SEU) merupakan raja Magadha dari Dinasti Haryanka. Ia kemudian hari menjadi penyokong kehidupan Sang Buddha dan para bhikkhu.
[3] Vesāli (Sanskerta: Vaiśālī), sekarang bernama Vaishali terletak di negara bagian Bihar di India Utara.
[4] Konfederasi Vajjī merupakan sebuah negara republik yang mayoritas penduduknya terdiri dari tiga kaum atau klan (Pali: gotta; Sanskerta: gotra) yaitu Licchavī, Malla dan Sākya.
[5] 16 Mahājanapada (Negara Besar) yaitu Kāsī, Kosala, Anga, Magadha, Vajji, Mallā, Ceti, Vamsā, Kuru, Pañcāla, Macchā, Sūrasena, Assaka, Avantī, Gandhāra dan Kamboja.
[6] Jhāna ke-7 dari kedelapan jhāna atau jhāna ke-3 dari Arupa jhāna. Jhāna merupakan kondisi pikiran yang mencerap obyek saat meditasi dilakukan.
[7] Jhāna ke-8 dari kedelapan jhāna atau jhāna ke-4 dari Arupa jhāna, merupakan jhāna yang tertinggi.
[8] Senā-nigāma, kota niaga (nigama) prajurit (senā). Juga disebut Senānīnigama (kota niaga Senānī) karena tempat di mana hartawan Senānī tinggal.
[9] Koṇḍañña (Aññāta-Kondañña atau Yañña) adalah brahmana yang pernah memastikan bayi Pangeran Siddhattha akan menjadi Buddha. Ia juga disebut Aññā-Kondañña, Kondañña Yang Berpengetahuan Tinggi.
[10] Beberapa sumber mengisahkan setelah Petapa Gotama diambang kematian dan ditolong oleh anak laki-laki gembala, Ia mendengarkan syair dari sekelompok gadis.
Ketika Petapa Gotama merenung bahwa Ia akan mati jika tidak mendapatkan pertolongan dari anak laki-lagi gembala, sekelompok gadis penyanyi yang tengah berjalan menuju kota berlalu di dekat tempat Ia bermeditasi. Seraya berjalan, mereka berdendang: “Jika dawai kecapi ditala terlalu longgar, suaranya tak akan muncul. Jika dawai ditala terlalu kencang, dawai akan putus. Jika dawai ditala tidak terlalu longgar dan tidak terlalu kencang, kecapi akan menghasilkan suara merdu.”
Batin Petapa Gotama sungguh tergugah oleh syair tembang yang dilantunkan para gadis itu. Ia telah terlalu banyak menikmati kepuasan indrawi dengan segala kemewahannya selagi masih tinggal di istana dulu. Sebagaimana halnya dawai kecapi yang ditala terlalu longgar, demikian pula Pencerahan tak akan tercapai dengan pemanjaan diri. Ia juga telah menjalankan tapa sedemikian ketat hingga hampir mati. Sebagaimana halnya dawai kecapi yang ditala terlalu kencang, demikian pula Pencerahan tak dapat dicapai melalui penyiksaan diri.
DAFTAR ISI
Pendahuluan
Kelahiran dan Kehidupan Istana Pangeran Siddhattha
Pelepasan Keduniawian Pangeran Siddhattha
Kehidupan Petapa Gotama
Pencerahan Agung
Pemutaran Roda Dhamma
Empat Puluh Lima Tahun Membabarkan Dhamma
Perjalanan Terakhir Buddha Gotama
Mahaparinibbana Buddha Gotama