Pemutaran Roda Dhamma

Setelah mencapai Pencerahan Sempurna, muncul dalam pikiran Sri Bhagavā[1] mengenai betapa dalamnya, sungguh halusnya Dhamma yang telah ditemukan-Nya. Ia mempertanyakan apakah manusia dapat memahaminya. Namun setelah dengan welas asih-Nya, Ia memindai seluruh dunia dengan menggunakan Mata Buddha-Nya (Buddhacakkhu), melihat bahwa ada manusia yang dapat memahami Dhamma yang ditemukan-Nya, maka Sri Bhagavā memiliki niat kuat untuk menyebarkan Dhamma. Kemudian Ia berkata: “Apārutā tesaṃ amatassa dvārā,. Ye sotavanto pamuñcantu saddhaṃ” – “Pintu menuju tiada kematian, Nibbana, sekarang telah terbuka. Akan Kubabarkan Dhamma kepada semua makhluk agar mereka yang memiliki keyakinan dan pendengaran yang baik bisa sama-sama memetik manfaatnya.”

Setelah memantapkan niat untuk mengajarkan Dhamma, Sri Bhagavā lalu menimbang-nimbang kepada siapakah Ia perlu mengajarkan Dhamma untuk pertama kalinya, siapakah yang akan segera memahami Dhamma yang Ia temukan. Lalu Ia berpikir bahwa Āḷāra Kālāma, salah satu guru-Nya adalah orang yang bijaksana, terpelajar, dan berpikiran tajam, serta sedikit debu saja di matanya. Jika Ia mengajarkan Dhamma pertama kalinya kepadanya, Āḷāra Kālāma akan segera memahaminya. Namun kemudian Sri Bhagavā mengurungkan niat-Nya setelah menyadari bahwa Āḷāra Kālāma telah meninggal tujuh hari yang lalu.

Kemudian, Sri Bhagavā berpikir tentang guru-Nya yang lain, Uddaka Rāmaputta, namun lagi-lagi Sri Bhagavā mengurungkan niat-Nya setelah menyadari bahwa Uddaka Rāmaputta telah meninggal kemarin malam.

Akhirnya Sri Bhagavā memikirkan kelima petapa (pañcavaggiyā) yang melayani-Nya semasa Ia melakukan tapa berat di Hutan Uruvelā. Dengan Mata Buddha-Nya yang murni melampaui kemampuan pandang manusia, Ia mengetahui bahwa mereka tengah berdiam di Isipatana[2], di dekat Banārasī (Varanasi/Banāras/Benares). Demikianlah, setelah tinggal di Uruvelā selama yang dikehendaki-Nya, Ia berjalan menuju Banārasī, yang berjarak delapan belas yojana.

LIMA SISWA PERTAMA

Pada senja yang sejuk, di hari purnama bulan Āsāḷha, 588 S.E.U, Sri Bhagavā tiba di Taman Rusa di Isipatana. Kemudian, ketika kelima petapa melihat Sri Bhagavā semakin dekat, mereka mulai memperhatikan bahwa Ia tidak tampak seperti Petapa Gotama yang dulu mereka layani di Hutan Uruvelā selama enam tahun. Mereka melihat bahwa tubuh-Nya bercahaya cemerlang tiada banding, dan mereka juga mendapatkan kesan tenteram dan damai dari diri-Nya. Tak seorang pun di antara mereka yang sadar apa yang tengah terjadi karena mereka akhirnya tak kuasa menaati kesepakatan awal mereka yang menolak menghormati-Nya. Dengan segera mereka berdiri. Salah satu mendekati-Nya dan membawakan mangkuk serta jubah luar-Nya; yang lain menyiapkan tempat duduk; yang lainnya membawakan air, tatakan kaki, dan handuk untuk mencuci kaki-Nya. Dan setelah Sri Bhagavā duduk, mereka memberikan hormat dan menyapa-Nya.

Setelah itu, Sri Bhagavā menyatakan bahwa diri-nya telah berhasil mengatasi kelahiran dan kematian dalam hidup ini dan akan mengajarkan Dhamma yang Ia temukan kepada mereka. Dan setelah kelima petapa itu dapat diyakinkan oleh Sri Bhagavā, kelima petapa itu duduk diam, dan siap menerima petunjuk-Nya.

Sri Bhagavā membabarkan kotbah pertama-Nya, Dhammacakkappavattana Sutta (Sanskerta: Dharmacakra Pravartana Sūtra – Khotbah Mengenai Pemutaran Roda Dhamma)[3]. Dalam khotbah ini, Sri Bhagavā membabarkan kepada kelima petapa tersebut mengenai keberadaan dua jalan ekstrem – yaitu pemanjaan diri dan penyiksaan diri – yang harus dihindari oleh orang yang telah meninggalkan keduniawian. Kemudian Ia membabarkan Empat Kebenaran Mulia (Pali: cattāri ariyasaccāni; Sanskerta: catvāri āryasatyāni). Ia juga menunjukkan praktik Jalan Tengah (Pali: majjhimā paṭipadā; Sanskerta: madhyamā-pratipada), yang terdiri dari delapan faktor, yang juga disebut Jalan Mulia Berfaktor Delapan (Pali: ariyo aṭṭhaṅgiko maggo; Sanskerta: āryāṣṭāṅgamārga).

Kelima petapa mendengarkan dengan saksama dan membuka hati mereka terhadap ajaran-Nya. Dan ketika khotbah itu tengah dibabarkan, pandangan tanpa noda dan murni terhadap Dhamma muncul dalam diri Koṇḍañña. Ia memahami: “Yaṃ kiñci samudayadhammaṃ sabbaṃ taṃ nirodhadhamma” – “Apa pun yang muncul pasti akan berakhir”. Demikianlah, ia menembus Empat Kebenaran Mulia dan mencapai tataran kesucian pertama, Memasuki Arus (Pali: Sotāpatti; Sanskerta: Srotāpatti)[4] pada akhir pembabaran itu. Karena itu, ia juga dikenal sebagai Aññata Kondañña – Kondañña Yang Mengetahui. Lalu ia memohon penahbisan lanjut (Pali, Sankserta: upasampadā) kepada Sri Bhagavā. Untuk itu, Sri Bhagavā menahbiskannya dengan berkata: “Ehi bhikkhu, svākkhāto Dhammo caro brahmacariyaṃ sammā dukkhasa antakiriyāyā” – Mari, Bhikkhu, Dhamma telah dibabarkan dengan sempurna. Jalanilah hidup suci demi berakhirnya penderitaan secara penuh”. Dengan demikian, ia menjadi bhikkhu pertama dalam Buddha Sasana melalui penahbisan Ehi Bhikkhu Upasampadā, “Penahbisan Mari Bhikkhu”.

Setelah itu, ketika ketiga petapa lainnya pergi menerima dana makanan, Sri Bhagavā mengajarkan dan memberikan bimbingan Dhamma kepada Vappa dan Bhaddiya. Mereka akhirnya menjadi murni dan mencapai tataran kesucian Sotāpatti. Dengan segera mereka memohon untuk ditahbiskan sebagai bhikkhu di bawah bimbingan-Nya. Keesokan harinya, Mahānāma dan Assaji juga menembus Dhamma dan menjadi Sotāpanna. Tanpa jeda lagi mereka juga memohon penahbisan lanjut dari Sri Bhagavā dan menjadi bhikkhu. Dengan demikian, kelima petapa itu menjadi lima siswa bhikkhu yang pertama, yang juga dikenal sebagai “Bhikkhū Pañcavaggiyā”. Sejak saat itu, Persamuhan Bhikkhu (Sangga Bhikkhu)[5] terbentuk.

Setelah kelima bhikkhu itu menjadi Sotāpanna, pada hari kelima Sri Bhagavā membabarkan Anattalakkhaṇa Sutta (Sanskerta: Anātmalakṣaṇa Sūtra – Khotbah Mengenai Ciri Tiadanya Inti Diri)[6], yang dibabarkan sebagai tanya-jawab antara Sri Bhagavā dan kelima siswa suci-Nya. Pada intinya, Sri Bhagavā menyatakan bahwa bentuk (Pali, Sanskerta: rūpa), perasaan (Pali, Sanskerta: vedanā), pencerapan (Pali: sañña; Sanskerta: saṃjñā), bentukan batin (Pali: saṅkhāra; Sankserta: samskāra), dan kesadaran (Pali: viññāṇa; Sanskserta: vijñāna) adalah selalu berubah; dan apa yang selalu berubah tidaklah memuaskan (dukkha). Kemudian, kesemuanya ini yang selalu berubah dan tidak memuaskan, harus dilihat sebagaimana adanya dengan pengertian benar: “Ini bukan milikku (n’etaṃ mama); ini bukan aku (n’eso’hamasmi); ini bukan diriku (na m’eso atta)”.

Mendengar kata-kata-Nya, kelima bhikkhu tersebut menjadi gembira dan bahagia. Dan setelah Sri Bhagavā membabarkan khotbah ini, pikiran mereka terbebas dan kotoran batin, tanpa kemelekatan; mereka mencapai tataran kesucian Arahatta[7].

PARA DUTA DHAMMA PERTAMA

Setelah Sri Bhagavā memberikan Pencerahan kepada kelima petapa, Beliau bersama kelima siswa pertama-Nya itu berdiam di Taman Rusa di Isipatana untuk melewati musim hujan. Dan ketika Sri Bhagavā sedang berjalan-jalan ditempat terbuka, Ia bertemu putra seorang saudagar kaya, bernama Yasa yang mengalami kegundahan batin terhadap kehidupannya dan pergi dari rumahnya. Yasa tidak lain adalah putra dari Sujātā dari Senā-nigāma, seorang wanita yang pernah mempersembahkan nasi susu kepada Petapa Gotama sebelum Pencerahan-Nya.

Setelah bertemu dengan Sri Bhagavā, Yasa mendengarkan Dhamma yang dibabarkan oleh Sri Bhagavā dengan saksama. Dan ketika batinnya sudah siap, bisa menerima, bebas rintangan, bersemangat, dan yakin, Sri Bhagavā membabarkan Empat Kebenaran Mulia.

Ketika ayah Yasa mencari putranya yang telah pergi dari rumah, ia pun bertemu dengan Sri Bhagavā. Kemudian Sri Bhagavā juga mengajarkannya ajaran bertahap dan Empat Kebenaran Mulia seperti yang telah dilakukan-Nya terhadap Yasa. Setelah pembabaran Dhamma selesai, ayah Yasa mencapai tataran kesucian Sotāpatti dan mengambil pernaungan kepada Tiga Permata (Pali: Tiratana; Sanskerta: Triratna – Buddha, Dhamma dan Saṅgha). Ia kumudian mengundang Sri Bhagavā ke rumahnya. Setelah ayahnya pergi, dengan hormat Yasa memohon penahbisan awal (Pali: pabbajjā; Sanskerta: pravrajyā)[8] dan ditahbiskan dengan “Ehi bhikkhu, pabbajjā” – “Mari Bhikkhu, tinggalkan keduniawian” kemudian dilanjutkan dengan penahbisan lanjut. Demikianlah Yasa menjadi seorang bhikkhu dan saat itu mencapai tataran kesucian Arahatta.

Saat fajar tiba, Sri Bhagavā disertai enam siswa-Nya, menuju ke rumah Yasa untuk memenuhi undangan. Setelah mengajarkan Dhamma kepada ibu Yasa yaitu Sujātā, dan mantan istri Yasa, mereka menjadi Sotāpanna dan mengambil pernaungan kepada Buddha, Dhamma dan Saṅgha.

Begitu pula kelima puluh empat teman Yasa yang empat diantaranya adalah sahabat karib Yasa yang bernama Vimala, Subāhu, Puṇṇaji, dan Gavampati, mereka juga menerima pengajaran dari Sri Bhagavā, menerima penahbisan menjadi bhikkhu, dan mencapai tataran kesucian Arahatta.

Demikianlah, pada saat itu terdapat enam puluh satu Arahant di dunia, yaitu, Buddha, Bhikkhū Pañcavaggiyā, Bhikkhu Yasa, dan kelima puluh empat sahabat Yasa.

Pada saat berakhirnya tiga bulan masa kediaman musim hujan (Pali: vassā; Sanskerta: varṣā), Sri Bhagavā telah mencerahkan enam puluh tiga orang. Di antara mereka, enam puluh orang mencapai tataran kesucian Arahatta dan memasuki Persamuhan Bhikkhu, sementara yang lainnya – ayah, ibu, dan mantan istri Yasa menjadi Sotāpanna dan terkukuhkan sebagai siswa awam sampai akhir hayat mereka. Kemudian, Sri Bhagavā bermaksud menyebarkan Dhamma kepada semua makhluk di alam semesta, tanpa memandang apakah mereka adalah dewa ataupun manusia, tanpa memandang apakah mereka berkasta tinggi, rendah, atau paria; tanpa memandang apakah mereka raja ataupun pelayan, kaya ataupun miskin, cantik ataupun buruk, sehat ataupun sakit, patuh ataupun tidak patuh pada hukum.

Kemudian Sri Bhagavā berkata kepada keenam puluh bhikkhu Arahant tersebut: “Caratha, bhikkhave, cārikaṃ bahujanahitāya bahujanasukhāya lokānukampāya atthāya hitāya sukhāya devamanussānaṃ. Mā ekena dve agamittha. Desetha, bhikkhave, dhammaṃ ādikalyāṇaṃ majjhekalyāṇaṃ pariyosānakalyāṇaṃ sātthaṃ sabyañjanaṃ kevalaparipuṇṇaṃ parisuddhaṃ brahmacariyaṃ pakāsetha. Santi sattā apparajakkhajātikā, assavanatā dhammassa parihāyanti. Bhavissanti dhammassa aññātāro. Ahampi, bhikkhave, yena uruvelā senānigamo tenupasaṅkamissāmi dhammadesanāyā.” (“Para Bhikkhu, Saya telah terbebas dan semua ikatan yang mengikat makhluk hidup, baik para dewa maupun manusia. Kalian juga telah terbebas dan semua ikatan yang mengikat makhluk hidup, baik para dewa maupun manusia. Pergilah, para Bhikkhu, demi kesejahteraan dan kebahagiaan banyak makhluk, atas dasar welas asih kepada dunia, demi kebaikan, kesejahteraan, dan kebahagiaan para dewa dan manusia. Janganlah pergi berdua dalam satu jalan! Para Bhikkhu, babarkanlah Dhamma yang indah pada awalnya, indah pada pertengahannya, dan indah pada akhirnya, dalam makna maupun isinya. Serukanlah hidup suci, yang sungguh sempurna dan murni. Ada makhluk dengan sedikit debu di mata yang akan tersesat karena tidak mendengarkan Dhamma. Ada mereka yang mampu memahami Dhamma. Para Bhikkhu, Saya sendiri akan pergi ke Uruvelā di Senā-nigāma untuk membabarkan Dhamma.”)

Demikianlah, Sri Bhagavā mengutus keenam puluh siswa-Nya yang telah tercerahkan untuk mengembara dan satu tempat ke tempat lain. Ini menandakan karya duta Dhamma[9] pertama dalam sejarah umat manusia. Mereka menyebarluaskan Dhamma yang luhur atas dasar welas asih terhadap makhluk lain dan tanpa mengharapkan pamrih apa pun. Mereka membahagiakan orang dengan mengajarkan moralitas, memberikan bimbingan meditasi, dan menunjukkan manfaat hidup suci.

Catatan:

[1] Pali: bhagavā; Sanskerta: bhagavant, bhagavan – berarti Yang Beruntung atau Yang Terberkahi atau Yang Termulia. Kata sri dalam bahasa Indonesia merupakan gelar kehormatan bagi raja atau orang besar dsb; yang mulia.
[2] Pali: Isipatana; Sanskerta: Rishipāṭhana – berarti tempat mengajar atau petirahan para resi atau waskitawan (Pali: isi; Sanskerta; rishi).
[3] Dhammacakkappavattana Sutta terdapat dalam Kanon Tipitaka Pali di Saṃyutta Nikāya 56.11 (Saṃyutta Nikāya: Mahāvagga 12.2.1 {Mahāvagga 1081} versi Chaṭṭha Saṅgāyana CD-ROM – CSCD).
[4] Secara harfiah, Sotāpatti berarti memasuki (Pali, Sanskerta: āpatti) arus (Pali: sota; Sanskerta: srota). Orang yang mencapainya disebut Pemasuk Arus (Pali: Sotāpanna; Sanskerta: Srotāpanna).
[5] Pali: Bhikkhu Saṅgha (baca: biku sangga); Sanskerta: Bhikṣu Saṃgha (baca: biksu sangga).
[6] Anattalakkhaṇa Sutta disebut juga Pañcavaggiyā Sutta (Anattalakkhaṇa Sutta) terdapat dalam Kanon Tipitaka Pali di Saṃyutta Nikāya 22.59 (Saṃyutta Nikāya: Khandhavagga 1.6.7 {Khandhavagga 59} versi Chaṭṭha Saṅgāyana CD-ROM – CSCD).
[7] Merupakan tingkat kesucian keempat dan terakhir. Secara harfiah, berarti berharga atau pantas atau unggul. Orang yang mencapainya disebut Yang Berharga atau Yang Pantas atau Yang Unggul (Pali: Arahant; Sanskerta: Arhant).
[8] Secara harfiah, pabbajjā berarti keluar meninggalkan rumah atau dunia. Kemudian menjadi istilah untuk penahbisan menjadi calon bhikkhu (Pali: sāmaṇera; Sanskerta: srāmaṇera).
[9] Duta Dhamma (Pali: Dhamma-duta; Sanskerta: Dharma-duta) merupakan orang yang diutus untuk melakukan tugas berupa menyebarkan Dhamma (Kebenaran).

DAFTAR ISI

Pendahuluan
Kelahiran dan Kehidupan Istana Pangeran Siddhattha
Pelepasan Keduniawian Pangeran Siddhattha
Kehidupan Petapa Gotama
Pencerahan Agung
Pemutaran Roda Dhamma
Empat Puluh Lima Tahun Membabarkan Dhamma
Perjalanan Terakhir Buddha Gotama
Mahaparinibbana Buddha Gotama

REKOMENDASIKAN: