Sejarah Perkembangan Buddhisme Di Indonesia

PENDAHULUAN

Sejarah Perkembangan Buddhisme di Indonesia

Untuk mengetahui awal masuknya Agama Buddha (Buddhisme) ke Indonesia, kita memerlukan sumber yang mengacu pada peninggalan-peninggalan masa lampau. Peningggalan-peninggalan masa lampau tersebut terdiri dari prasasti-prasasti yang ditemukan dan berita-berita luar negeri, yaitu dari orang-orang Tiongkok yang mengunjungi Indonesia. Prasasti yang berasal dari abad ke-5 hingga ke-7 tidak terlalu banyak memberikan informasi. Prasasti itu berasal dari Kalimantan, Sumatera dan Jawa. Dari prasasti itu kita hanya mengetahui bahwa pada waktu itu ada raja-raja yang memiliki nama yang bernuansa India, seperti Mulawarman di Kutai (Kalimantan Timur) dan Purnawarman di Jawa Barat. Akan tetapi, hal itu tidak berarti bahwa raja tersebut berasal dari India. Yang paling mungkin adalah raja-raja tersebut adalah orang Indonesia asli yang sudah memeluk agama yang datang dari India.

Selanjutnya prasasti tersebut menunjukkan bahwa agama yang dipeluk adalah Hinduisme (Agama Hindu) bukan Buddhisme. Tetapi dari penemuan arca-arca Buddhis di beberapa bagian di Indonesia, jelaslah dapat disimpulkan bahwa Buddhisme juga sudah memasuki Indonesia, walaupun mungkin belum begitu meluas.[1]

Sebelum kedatangan agama yang berasal dari India, dapat dipastikan bahwa pada jaman dahulu orang-orang di Indonesia menyembah dan memuja roh leluhur. Leluhur dianggap sebagai yang telah berjasa dan mempunyai banyak pengalaman. Roh leluhur, Hyang, atau Dahyang, demikian beberapa sebutan yang biasa dipakai, menurut kepercayaan pada waktu itu dianggap mempunyai kekuatan gaib yang dapat digunakan oleh orang-orang yang masih hidup. Kekuatan gaib itu diperlukan jika seseorang memulai suatu pekerjaan yang penting. Misalnya akan berangkat perang, akan mulai mengerjakan tanah, dan lain sebagainya.

Mereka percaya juga bahwa benda-benda seperti pohon besar, batu besar, gunung dan sebagainya dihuni oleh roh-roh. Ada kalanya benda-benda atau senjata-senjata juga dianggap bertuah dan sakti sehingga dijadikan jimat oleh pemiliknya. Upacara pemujaan roh leluhur harus diatur sebaik-baiknya, agar restu mudah diperoleh. Pertunjukan wayang erat hubungannya dengan upacara tersebut. Kepercayaan kepada Hyang masih dapat kita lihat sampai saat ini.

Informasi paling tua tentang keberadaan Buddhisme di Jawa dan Sumatera yang pada waktu itu belum begitu meluas juga didapat dari catatan bhiksu pengelana Tiongkok bernama Fa Hsien atau Faxian (+/-337 – 422 Era Umum/Masehi), yang sekembalinya dari Ceylon (Sri Lanka) ke Tiongkok pada tahun 414 Masehi terpaksa mendarat di negeri yang bernama Ye-Po-Ti karena kapalnya rusak terkena badai. Sekarang tidak terlalu jelas apakah Ye-Po-Ti itu Jawa atau Sumatera. Beberapa ahli mengatakan bahwa Ye-Po-Ti adalah Jawa (Sanskerta: Javadvipa; baca: Jambudwipa). Fa Hsien menyebutkan dalam catatannya bahwa hanya sedikit umat Buddha yang dijumpai di Ye-Po-Ti, yang banyak adalah orang-orang yang beragama Hindu dan sebagian masih animisme. Namun demikian, sepertinya kondisi mulai berubah sesudah abad kelima.

DAFTAR ISI

Pendahuluan

Buddhisme di Indonesia Zaman Kerajaan

Buddhisme di Indonesia Zaman Penjajahan

Buddhisme di Indonesia Zaman Kemerdekaan dan Orde Lama

Buddhisme di Indonesia Zaman Orde Baru

Buddhisme di Indonesia Zaman Wadah Tunggal

Buddhisme di Indonesia Zaman Reformasi

Penutup

Kepustakaan:

[1] Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha, PT. BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2001, hal.109.

REKOMENDASIKAN: